Yang Terjadi pada Otak saat Putus Cinta, Amigdala Aktif hingga Korteks Prefrontal Menurun

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi otak. medicalnews.com

Ilustrasi otak. medicalnews.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Selain sakit hati,  menarik juga untuk dikulik bagaimana perilaku kita berubah dalam beberapa minggu, bulan, dan terkadang tahun setelah putus cinta. Mengapa Anda secara impulsif memutuskan untuk mewarnai rambut Anda menjadi merah atau menghalangi mantan. Ternyata itu semua ada kaitannya dengan otak menurut ahli neuropsikologi dr. Aldrich Chan. Berikut empat hal yang terjadi pada otak saat putus cinta.

1. Amigdala Aktif

Putus cinta bisa memicu lonjakan aktivitas di amigdala, yaitu bagian otak yang mengatur emosi dan menempelkan emosi tersebut ke ingatan. Hal ini tidak hanya membuat rasa sakit karena putus cinta (kesedihan, kekecewaan, kemarahan) terasa lebih hebat dari biasanya, namun juga memicu respons melawan-atau-lari tubuh Anda.

Jadi, saat putus cinta, amigdala adalah bagian otak yang paling aktif. Amigdala merasakan Anda dalam bahaya dan mengeluarkan hormon stres, sama seperti jika Anda dikejar oleh sesuatu yang prasejarah.

2. Penurunan Korteks Prefrontal

Bagian korteks prefrontal, yang penting untuk pengambilan keputusan dan pemikiran rasional, mengalami penurunan aktivitas saat putus cinta, menurut dr. Chan.

“Hal ini menyulitkan kita untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat," jelasnya dikutip dari Purewow, 15 Desember 2023.

Dengan kata lain, akibat ledakan kejutan dan emosi, otak Anda kemungkinan besar akan mengalami penurunan aktivitas di area yang memahami logika.

Hal ini masuk akal, karena perpisahan sering kali terasa tidak logis—korteks prefrontal tidak dapat memahami apa yang terjadi, sehingga ia tidak akan berperan penting sampai tingkat stres Anda turun.

Namun, pada saat yang sama, penurunan tersebut membuat Anda sulit mengatur emosi. Bagi sebagian orang, ini bisa berarti ketidakmampuan untuk memilah-milah (menangis di antara rapat Zoom saat mencoba bekerja). Bagi yang lain, hal ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan impulsif.

Pernah bertanya-tanya mengapa orang pindah ke Eropa atau membeli tas Chanel melampaui kemampuannya? Ya, itu karena penurunan kemampuan korteks prefrontal.

3. Tingkat Hormon Berubah

Seperti disebutkan di atas, tubuh Anda melepaskan sejumlah bahan kimia saat merasakan bahaya.

“Hormon seperti dopamin, oksitosin, dan kortisol dapat mengalami perubahan signifikan. Kadar dopamin cenderung menurun, mengakibatkan menurunnya perasaan senang dan senang (yang kemudian dapat menyebabkan depresi dan kesedihan). Tingkat oksitosin juga dapat menurun, menyebabkan perasaan kesepian, karena hormon ini dikaitkan dengan ikatan sosial dan keterikatan," ucap dr. Chan.

Sebaliknya, kadar kortisol mungkin meningkat, yang menurut Dr. Chan dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan dan kesulitan menghadapi perpisahan.

“Hal ini dapat memengaruhi perilaku dan suasana hati seseorang saat putus cinta, sering kali menyebabkan gejala seperti penarikan diri.” Memang, kecanduan sebenarnya adalah tema utama dalam hal putus cinta.

4. Dapat Menimbulkan Perilaku Adiktif

Dalam sebuah penelitian tahun 2011 yang diterbitkan dalam Journal of Neurophysiology,15 orang yang belum melupakan perpisahan mereka diperiksa dengan MRI. Pemindaian menunjukkan bahwa bagian otak yang berhubungan dengan nafsu makan dan kecanduan—seringkali dikaitkan dengan kokain dan nikotin—bersinar seperti pohon Natal.

Menurut dr. Chan, temuan tersebut menunjukkan bahwa otak kita mungkin memproses perpisahan dengan cara yang menyerupai penarikan diri dari kecanduan. Perpisahan bisa menjadi tantangan emosional, yang dapat menimbulkan berbagai respons psikologis dan fisiologis.

Emosi dan hasrat yang kuat yang dipicu oleh putusnya hubungan mungkin mirip dengan gejala penarikan diri yang dialami oleh individu yang mencoba mengatasi kecanduan. Hal ini juga bisa disebabkan oleh keterikatan yang kuat dan ikatan emosional yang berkembang dalam hubungan romantis. Hal ini menciptakan rasa ketergantungan yang membuat akhir hubungan terasa seperti penarikan diri dari suatu zat atau perilaku adiktif.

Waktu yang dibutuhkan otak untuk pulih dari putus cinta bisa berbeda-beda pada setiap orang. “Beberapa faktor dapat memengaruhi proses ini, termasuk durasi dan intensitas hubungan, gaya keterikatan individu, sistem dukungan, dan mekanisme penanggulangannya," jelas dr. Chan.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."