Mengulik Sejarah Stetoskop, Suara Jantung dari Sepotong Kayu

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi pemeriksaan kesehatan anak / dokter anak. Shutterstock

Ilustrasi pemeriksaan kesehatan anak / dokter anak. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaStetoskop punya tempat khusus dalam dunia kedokteran sebagai salah satu alat medis. Ya, alat pendeteksi pernapasan itu praktis menjadi simbol seorang dokter. Orang di belakang kelahiran alat yang sangat berguna itu adalah René Théophile Hyacinthe Laënnec. Menurut Farhat Yaqub, dalam artikelnya mengenai Laënnec di jurnal The Lancet edisi Oktober 2015, Laënnec lahir di Quimper, Prancis pada 17 Februari 1781 dan meninggal di Ploaré pada 13 Agustus 1826.

Laënnec menjadi dokter karena diilhami pamannya, Guillaume François Laënnec, dekan Fakultas Kedokteran University of Nantes, Prancis. Pada mulanya dia bekerja di rumah-rumah sakit tentara sebelum pindah ke Paris untuk kuliah kedokteran di École de Médicine. Dosennya termasuk Jean-Nicolas Corvisart, dokter pribadi Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte. Lulus sebagai dokter dia bekerja di rumah sakit dan melakukan penelitian mengenai tuberkulosis.

Tahun 1816 adalah tahun penting bagi Laënnec. Pada tahun itu Laënnec diangkat sebagai kepala bagian di rumah sakit Hôpital Necker di Paris. Pada September tahun itu dokter pria itu menangani seorang gadis muda yang memiliki gejala umum penyakit jantung. Laënnec sebenarnya merasa perlu melakukan auskultasi, metode pemeriksaan yang digunakan untuk mendengarkan suara jantung, paru-paru dan abdomen, namun ketidakpraktisan dan kesopanan menghalanginya. Pada masa itu, dokter mendengarkan detak jantung dengan menempelkan telinga ke dada pasien. Metode lama ini tidak akurat, tidak higienis, dan juga ada masalah kesopanan bila pasien berbeda jenis kelaminnya.

"Saya teringat fenomena akustik yang terkenal: jika Anda menempelkan telinga Anda pada salah satu ujung balok kayu, goresan peniti pada ujung lainnya akan terdengar paling jelas. Terlintas dalam benak saya bahwa properti fisik ini mungkin memiliki tujuan yang berguna dalam kasus yang saya hadapi saat itu," tulis Laënnec dalam Auskultasi Mediasi atau Risalah tentang Diagnosis Penyakit Paru-Paru dan Jantung, yang terutama didasarkan pada Sarana Eksplorasi Baru ini, risalah medisnya dalam bahasa Prancis yang diterbitkan pada 1819.

Terinspirasi Kayu Tongkat Panjang

Ilustrasi serangan jantung (pixabay.com)

Menurut Farhat Yaqub, Laënnec menemukan ide itu ketika berjalan di taman Istana Louvre dan melihat dua anak laki-laki bermain dengan tongkat kayu panjang. Satu anak menggaruk salah satu ujung tongkat dengan pin dan anak lainnya mendengarkan suara yang ditransmisikan ke ujung yang lain.

Laënnec mencoba meniru mainan itu untuk kepentingan kedokteran dengan memakai kertas. "Saya mengambil selembar kertas dan menggulungnya menjadi gulungan yang sangat rapat, salah satu ujungnya saya letakkan di atas daerah prekordial (bagian dada dekat jantung), sementara saya menempelkan telinga saya ke ujung lainnya. Saya terkejut sekaligus bersyukur karena dapat mendengar detak jantung dengan lebih terang dan jelas dibandingkan dengan yang pernah saya dengar secara langsung dengan telinga," tulis Laënnec.

Laënnec mulai melakukan penelitian mendalam mengenai alat ini. Ia mencoba berbagai macam kayu, gading, kulit binatang, dan bahan lainnya, tetapi dia menyimpulkan bahwa kayu yang lebih lunak, seperti kayu pinus, adalah yang terbaik. Dia belajar menggunakan mesin bubut dan beberapa instrumen lain untuk membuatnya.

Setelah mencoba beberapa kali dan berbagai perbaikan akhirnya Laënnec menghasilkan stetoskop pertamanya, sebuah silinder kayu sepanjang 25 sentimeter dan diameter 3,5 sentimeter dengan sumbat berbentuk corong. Kedua ujung dapat dibuka tutupnya agar mudah dibawa. Meskipun Laënnec belum memberi nama pada penemuan barunya, ia menyebutnya "le cylindre" dan kemudian memilih nama stetoskop (stethoscope), yang berasal dari gabungan dua kata Yunani, yakni stethos, yang berarti dada, dan skopein, yang berarti memeriksa.

Pada Februari 1818, Laënnec melaporkan temuannya ke Akademi Sains Prancis dan pada bulan Mei-Juli tahun yang sama ia memberikan kuliah di depan Akademi Kedokteran mengenai hal tersebut. Pada Agustus 1819, Laënnec menerbitkan buku Auskultasi Mediasi dalam dua jilid yang dijual seharga 13 franc dan stetoskop dijual bersama buku tersebut dengan tambahan 3 franc. Menurut Historicalstatistics.org, 16 franc pada tahun itu setara dengan Rp 1,6 juta pada tahun 2015. Buku ini adalah karya paling lengkap tentang penyakit di dada pada masa itu dan memuat pula masalah radang paru dan tuberkulosis.

Inovasi yang Memicu Kontroversi, Membuatnya Popular

Inovasi Laënnec memicu kontroversi tapi juga membuatnya sangat terkenal. Dia kemudian diangkat sebagai guru besar kedokteran di College de France pada 1822 dan Hôpital de la Charité di Paris pada 1823. Pada 1824, Laënnec dianugerahi Chevalier Légion d'Honneur, penghargaan nasional tertinggi negara Prancis. Ruang kuliahnya selalu penuh dan jadwal praktiknya padat. Dia bahkan harus memberikan konsultasi kepada pasien di pagi hari sambil berpakaian. Paris kemudian menjadi pusat para dokter dari luar Prancis untuk datang dan belajar tentang auskultasi mediasi.

Sejak itu, para dokter dan ilmuwan mencoba mengembangkan stetoskop Laënnec agar lebih ringkas dan akurat. Pada tahun 1925, Akira Sato dan Heiichi Nukiyama mengembangkan magnoskop, stetoskop dengan penguat elektrik. Rappaport dan Sprague dari Boston, Amerika Serikat menerbitkan makalah tentang hukum fisika yang mengatur auskultasi pada tahun 1941 dan pada 1971, Ertel dan rekan-rekannya menerbitkan dua makalah tentang akustik stetoskop yang membantu pengembangan stetoskop lebih lanjut.

Pada 1961, David Littman, ahli kardiologi dan guru besar Harvard Medical School, Amerika, mengembangkan dan mematenkan stetoskop berbentuk Y. Jenis stetoskop Littman inilah yang kita kenal sekarang. Namun, para ahli medis mengakui jasa Laënnec sebagai pembuka jalan bagi lahirnya stetoskop modern yang praktis dan amat bermanfaat dalam diagnosis medis. 

Pilihan Editor: Menangani Kanker Minimal Butuh 3 Diagnosis dari Dokter Subspesialis Berbeda

HISTORICAL STATISTICS

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."