Rilis Novel Rasina, Iksaka Banu: Belajar Sejarah Melalui Fiksi yang Menyenangkan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Iksana banu dalam peluncuran novel terbarunya bertajuk

Iksana banu dalam peluncuran novel terbarunya bertajuk "Rasina" pada Jumat, 10 Maret 2023 di Bentara Budaya Jakarta/Foto: Cantika.com/Ecka Pramita

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Novelis, Iksaka Banu merilis novel terbarunya bergenre fiksi sejarah. Dalam peluncuran buku ini, hadirin diajak menyelami kehidupan Rasina, seorang budak bisu di era kolonial Hindia Belanda, lewat pemutaran teaser dan theatrical reading

Empat orang menyuarakan tiga tokoh berbeda dalam pembacaan Rasina secara teatrikal. Rizal Iwan yang merupakan seorang pemain teater dan penulis novel anak “Creepy Case Club” berperan sebagai Hendriek Cornelis Adam, juru tulis Letnan Nicolaes van Waert. 

Aziz Azthar atau dikenal dengan nama pena Jason Abdul yang merupakan penulis “Song of Will”, menjadi Joost Borstveld, Landdrost Ommelanden Timur. Selain itu, Angelina Enny yang berkolaborasi sajak dengan Robin Block dalam buku “In Between, Di Antara” berperan sebagai penerjemah Rasina, dan Dinda Suci Lestari (presenter dan model) memerankan tokoh utama dalam cerita tersebut, Rasina, yang telah dibisukan.

Membincang latar belakang novel setebal 579 halaman ini, dikatakan Iksaka Banu memakai dua plot yakni tahun 1621 dan 1755 yang didasarkan pada catatan harian Cornelis Hendrik Adam di era VOC. 

"Mulanya dari cerpen Kalabaka di kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat, bagaimana mencari cara penaklukan Banda tanpa harus melalui Kalabaka. Jadi saya menggunakan orang lain untuk melanjutkan ke tahapan cerita selanjutnya, yakni Rasina," ucapnya di acara peluncuran buku Rasina, Jumat, 10 Maret 2023 di Bentara Budaya Jakarta. 

Kendati tidak terjun langsung di Pulau Banda, riset data yang digunakan Iksaka tidak main-main, sebab sudah dimulai sejak 2018. "Nah tadinya mau langsung riset ke Banda, kepotong pandemi. Jadi saya memutuskan Rasina full riset dari data. Soal adat budaya dan masyarakat Banda. Saya memberanikan menulis tanpa harus ke Banda. Semua data saya tulis lalu dituangkan dalam buku diktat untuk dokumentasi saya menulis," paparnya.

"Yang saya lakukan ialah menulis dulu. Biasa pakai sinopsis, tokoh siapa sudah ada, garis besar cerita sudah ada. Pembabakan juga sudah mulai terstruktur jadi sebisa mungkin tidak bias."

Secara garis besar, lanjut Iksaka, tema novel terbarunya ialah perbudakan, suatu tema yang belum pernah ia singgung dalam tulisan sebelumnya. Menurutnya, dalam Rasina beban sejarah sudah berat, kalau masih ditambah dengan gaya bahasa yang rumit agak susah dibaca. 

"Saya ingin Rasina bisa dinikmati dengan bacaan sehari-hari tanpa harus merasa berat. Pakai bahasa sederhana dan biasa diucapkan sehari-hari."

Salah satu tantangan yang dihadapi Iksaka dalam novel ini ialah soal keberpihakan. "Seolah-olah saya menulis soal Belanda, saya berpihak, ada yang berasumsi seperti itu. Kita harus memahami kenapa kolonialisme bisa bertahan lama, karena ada kerjasama. Itu kan pertanyaan, ada interaksi perdagangan dan pernikahan," imbuhnya. 

"Seperti yang kita tahu ada orang Belanda jahat dan baik. Istilahnya berebut udara yang sama bernama kolonialisme."

Selain itu, tantangan lainnya ialah mengumpulkan sumber bacaan, sebab kalau disuruh memilih inginnya riset ke Banda, bisa mencicipi buah Pala secara langsung. Bisa mengunjungi peninggalan benteng, tempat pembantaian seperti apa sampai masuk ke dalam sumur. Akhirnya kembali ke imajinasi. 

Pria kelahiran 7 Oktober 1964 ini melakukan riset dari buku dan internet, dan ternyata semakin banyak makalah-makalah terkait Banda yang ia temukan di internet. Termasuk riset pakaian, korek api, dan properti adegan lainnya. Masyarakat Eropa setempat saat itu juga punya kebiasaan menulis jurnal dan bisa terekam dengan jelas kondisi di masa itu. 

Menyelami kehidupan Rasina, seorang budak bisu di era kolonial Hindia Belanda, dalam novel sejarah karya Iksaka Banu/Foto: Cantika.com/Ecka Pramita

Fiksi Sejarah dan Generasi Zaman Now 

Menurut Iksaka, generasi Z dan milenial termasuk sangat gemar membaca, walau mungkin lebih ke area digital. Mereka sangat canggih dalam hal data atau pengetahuan, asalkan sesuai dengan minat mereka. Sekali mereka tertarik kepada suatu tema, biasanya mereka jauh lebih kaya dalam hal referensi dan lebih progresif dibandingkan angkatan-angkatan sebelumnya. 

"Saya pernah kagum saat bicara dengan seorang Gen Z soal film. Benar-benar mumpuni, walau untuk topik lain ia tidak seambisius itu. Saya rasa demikian juga halnya dengan penikmat sejarah dan fiksi sejarah. Banyak Gen Z dan milenial yang tergabung dalam komunitas baca buku sejarah. Dan pengetahuan mereka tentang sejarah sungguh luar biasa," ucapnya saat dihubungi melalui pesan instan, Selasa, 14 Maret 2023. 

Nah, kalau kita ingin memperluas pengetahuan sejarah ke Gen Z dan milenial yang suka membaca tetapi kurang suka sejarah, menurut dia rasa jembatan kecilnya adalah “fiksi sejarah”. Kalau mereka tertarik kisah dalam fiksi sejarah, bukan tak mungkin mereka akan penasaran dan mencari buku sejarah aslinya. Bahkan sampai ke perpustakaan digital di luar negeri.

Belajar Sejarah Melalui Sastra 

Menurut penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa ini, sastra bisa bekerja sama dengan sejarah, tetapi sastra tidak bisa dijadikan referensi ilmiah untuk dijadikan suatu kesimpulan sejarah. Keduanya saling bekerja sama, tetapi tidak bisa saling menghakimi. Keduanya memiliki ranah unik.

Sastra (atau fiksi sejarah), sesuai namanya, pasti mengandung unsur fiktif, spekulatif, cenderung menggiring opini, dan subyektif meski mengambil suatu peristiwa sejarah sebagai latar hidup dan interaksi tokoh-tokoh fiktif buatannya.

Misalnya, di dalam fiksi sejarah, kita bisa “menghidupkan” sosok Diponegoro sesuai imajinasi yang ingin kita bangun. Ia bisa kita dandani menjadi lelaki jantan bersuara besar yang tak pernah ragu mengambil keputusan, tetapi bisa juga kita buat ia menjadi sosok yang terlalu banyak pertimbangan, dan suaranya halus seperti bangsawan Jawa pada umumnya.

Sejarah, secara sederhana, adalah suatu disiplin ilmu untuk mengumpulkan data yang terserak, hilang, atau dihilangkan, lalu menyusunnya menjadi suatu urutan kronologis sembagi mengembalikan konteks-konteks yang berkaitan dengan peristiwa itu sebanyak-banyaknya, agar pembaca bisa melihat “gambar besar” dari suatu peristiwa. Bukan cuma satu frame saja.

Karena sifatnya seperti itu, maka sejarah cenderung “dingin”, “mengambil jarak”, dan “tidak memihak”. Akibatnya, terkadang orang menjadi malas membaca sejarah. Di celah inilah sejarah bisa bekerja sama dengan sastra (fiksi).

"Menurut saya, belajar sejarah itu penting. Kita sering melihat betapa absurdnya suatu perdebatan di media sosial saat Pilpres atau Pilgub kemarin akibat gempuran politik identitas. Seperti pernah ditulis oleh Tom Nichols dalam “The Death of Expertise” (Matinya Kepakaran), banyak pembaca masa kini (terutama pembaca media online) lebih percaya kepada “siapa yang bicara” dibandingkan repot-repot mencari suatu fakta sejarah.  Misalnya, Gajah Mada dikatakan berasal dari Gaj Ahmada. Atau Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman," paparnya. 

Sementara kita tahu, ada hal-hal mendasar yang sulit serasi dengan pernyataan itu mengingat di Borobudur ada patung dalam posisi tangan mudra, atau bangunan pondasi mandala. Hal-hal mendasar yang pasti akan diketahui bila pembacanya rajin membaca sejarah.

Seandainya kedua hal itu ditulis menjadi fiksi sejarah, tentu boleh-boleh saja. Karena di dalam fiksi sejarah ada kategori “alternate history” alias cerita (fiksi) sejarah yang sengaja dipelintir. Misalnya, ada novel karangan Mark Twain berjudul “A Connecticut Yankee in King Arthur's Court”, yang sengaja mendistorsi sejarah sebagai komedi. Di situ dikisahkan, ada seorang ilmuwan awal abad 20 yang terlempar ke zaman Raja Arthur, lalu dengan pengetahuan abad 20 membujuk Raja Arthur untuk mendirikan tiang telepon, naik sepeda, mencoba senapan, dan lain-lain.

"Kalau pembaca sudah terbiasa membaca dan membandingkan fiksi sejarah dan sejarah, mereka pasti akan bisa merasakan atau melihat suatu pernyataan ganjil atau “hoax” dari suatu berita di media sosial yang memang sengaja ditulis untuk tujuan menyesatkan," harap penulis kumpulan cerpen Semua Tentang Hindia ini. 

Pilihan Editor: Sejarah Hari Ibu di Indonesia yang Penuh Gelora, Ini Bedanya dengan Mother's Day

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."