Benarkah Pamer Gaya Hidup Mewah Tanda Tidak Bahagia, Ini Penjelasannya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi kemudahan bertransaksi dalam berbelanja. (Foto: Shutterstock)

Ilustrasi kemudahan bertransaksi dalam berbelanja. (Foto: Shutterstock)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Turunan dari kasus yang menimpa putra pegawai pajak Rafael Alun Triasambodo berbuntut pada flexing atau pamer gaya hidup mewah atas privilese yang dimiliki mereka. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara mengkritisi gaya hidup mewah yang dilakukan jajaran pejabat Kementerian Keuangan, karena bisa mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. 

Sebenarnya, mengapa banyak orang memiliki kebiasaan pamer kehidupan mewah baik dalam keseharian atau media sosial?  Psikolog sekaligus Dosen Universitas Gajah Mada (UGM), Novi Poespita Candra mengatakan kebiasaan orang yang suka pamer kehidupan mewah cenderung memiliki perasaan jiwa yang kurang baik dalam kesehariannya.

“Orang yang suka hidup mewah menganut hedonisme, yaitu hidup mengejar kesenangan Hedonisme ini muncul karena biasanya ingin mengurangi rasa sakit di jiwanya, seperti kelelahan mental, kehilangan makna hidup, rasa bersalah dan lain-lain yang muncul," kata Novi. 

Menurutnya, kebiasaan pamer hidup mewah di hadapan banyak orang melalui berbagai platform media sosial pribadi, akan semakin melekat ketika menemukan lingkungan yang cocok.

“Jadi selain gaya hidup karena cara berpikir, lingkungan yang 'sama' membuat perilaku hedonistik ini semakin kuat. Dalam teori behavioristik, adanya penguatan positif dari lingkungan akan memperkuat suatu perilaku,” ujarnya.

Untuk mengatasinya, ada empat hormon yang harus dihidupkan untuk mendapatkan jiwa yang bahagia dalam kehidupan sehari-hari, antara lain dopamin yang bertujuan untuk melanjutkan langkah-langkah positif untuk mencapai pencapaian yang diimpikan dalam hidup.

Selanjutnya, hormon yang bisa membuat orang lebih bahagia adalah oksitosin, yang berguna untuk memunculkan rasa cinta, kasih sayang, empati dan juga rasa penerimaan yang tulus.

Kemudian, ada juga hormon serotonin yang akan membawa arti dan manfaat bagi orang lain seperti kegiatan sosial, kerelawanan dan sebagainya. Untuk melengkapinya, seseorang juga membutuhkan hormon endorfin atau masa lalu yang bahagia.

“Nah kalau kurang dari yang di atas, maka kebahagiaan tidak akan tercipta. Maka itu akan melukai jiwa dan mereka harus mengejar kesenangan dengan hedonisme , yang sering disebut masyarakat sebagai kebahagiaan palsu,” ujarnya.

Tak hanya masyarakat biasa, hormon juga perlu dihidupkan bagi seorang pejabat yang kini menjadi sorotan dengan berbagai kehidupan mewah yang kerap mereka hadirkan ke publik melalui platform media sosial pribadinya.

Sangat disayangkan bagi Novi, ketika ada pejabat yang sengaja menampilkan kehidupan mewah karena pegawai negeri seharusnya mencerminkan kondisi masyarakat yang saat ini sedang berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

“Menurut saya pejabat harus menjadi pemimpin. Pemimpin berarti hidup dengan ide-idenya dan tindakan yang menginspirasi. Otomatis jika mereka menghargai hidup mereka, maka mereka tidak akan bergantung pada kehidupan materialistis,” jelasnya.

Novi juga menambahkan, kehadiran pejabat untuk terjun dan berkomunikasi dengan masyarakat justru akan menciptakan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga yang dipimpinnya.

Pilihan Editor: Gaya Hidup Mindful jadi Tren Kesehatan 2023, Bagaimana Caranya?

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."