Tren De-Influencing Sedang Hits di Media Sosial, Bisa Menepis Konsumerisme?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi bermain media sosial. (Unsplash/Leon Seibert)

Ilustrasi bermain media sosial. (Unsplash/Leon Seibert)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Apakah kamu akrab dengan istilah de-influencing yang belakangan ini marak di media sosial? Tren de-influencing adalah kebalikan dari tren influencing atau tren mempengaruhi. Ini adalah gerakan kreator yang akan memberi tahu followers mereka apa yang tidak boleh dibeli dan alasannya

Akademisi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Chresthover Pelupessy menjelaskan bahwa fenomena de-influencing karena kekuatan dari seorang influencer untuk mengajak pengikutnya melakukan sesuatu.

“Media sosial itu kan dulunya mungkin awalnya kita pakai untuk berinteraksi. Tapi lama kelamaan kan media sosial ini dia menjadi sebuah media ekonomi. Maksudnya untuk mengiklankan, jualan dan sebagainya,” kata Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi UI ini. 

“Jadi di sini ada pertautan antara media sosial dimana seorang influencer itu punya kekuatan dari jumlah orang yang menyukai, jumlah orang yang jadi followers gitu ya. Dan dia jadi medium untuk produk atau hal-hal yang kemudian kita anggap sebagai sesuatu yang kita konsumsi itu,” tambahnya.

Lebih lanjut, Dicky menjelaskan bahwa seorang influencer yang memiliki jumlah pengikut banyak akan dianggap kredibel oleh masyarakat. Sehingga, dia pun bisa menggunakan kredibilitasnya tersebut untuk mengajak pengikutnya melakukan sesuatu.

“Jadi kalau dalam bahasa psikologi ini adalah apa yang kita sebut sebagai persuasi. Untuk mempersuasi itu ada beberapa hal yang jadi faktor penting. Yang pertama itu kan biasanya kredibilitas. Dan kredibiltas itu bisa bermacam-macam,” terang Dicky.

“Bisa karena kepakaran, bisa karena kehebatan, nama keluarga dan lain-lain. Tetapi sebenarnya kalau kita lihat dari media sosial, kredibilitas itu dimiliki oleh seseorang biasanya dari jumlah followers. Karena judulnya saja media sosial, media berinteraksi. Ketika kemudian followers ini bertambah, makin banyak, biasanya itu yang menjadi ukuran kredibilitas seorang influencer,” imbuhnya.

Namun, saat ini para influencer pun tak hanya mempromosikan produk yang bisa dibeli oleh masyarakat. Kemunculan fenomena de-influencing­ ini adalah tindakan dari para influencer untuk meyakinkan pengikutnya agar tidak membeli sesuatu berlebihan atau konsumerisme. 

Menurut Dicky, hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor sehingga diimbau agar masyarakat tak hanya mencari informasi dari satu influencer saja. Faktor dari de-influencing bisa terjadi karena motif personal atau bahkan justru permintaan dari satu pihak agar influencer tersebut tidak memasarkan produk tertentu.

“Ketika ada fenomena de-influencing, si influencer ini ya menggunakan kredibilitas dalam persuasi yang dia bangun dalam jumlah followers. Ini kan motifnya bisa macam-macam. Mungkin bisa saja itu hanya semacam motif personal, subjektif, tanpa tendensi profit taking tertentu,” ujar Dicky.

“Tapi bisa saja kan kita nggak tahu, di belakangnya misalnya ternyata ada endors untuk tidak mengendors satu produk. Jadi menurut saya, inilah pertautannya antara pengaruh influencer dengan budaya konsumerisme, di situ ada influencer dan kekuatan dia adalah jumlah followers. Kemudian dia pakai untuk kemudian mengendors yang tidak diendors,” ucapnya. 

Pilihan Editor: Generasi Milenial Diminta Manfaatkan Media Sosial dengan Bijak

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."