Merayakan Hari Ibu dengan Semangat Setop Mom Shaming, Ini Kisah Mereka

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi ponsel dapat meningkatkan depresi. theconversation.com

Ilustrasi ponsel dapat meningkatkan depresi. theconversation.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta“Sekarang, kok, gemukan.”

“Lagi hamil kenapa banyak banget jerawatnya.”

“Kok hamil terus, nanti semakin melar.”

“Kebanyakan anak nanti susah ngurusnya, lho.”

Apakah Sahabat Cantika familiar dengan ujaran kebencian tersebut atau zaman now menyebutnya dengan mom shaming? Lantas apa yang kalian lakukan jika menjadi korban mom shaming? Hampir setiap perempuan yang menjadi ibu bisa jadi pernah atau bahkan sering mengalami mom shaming, di momen Hari Ibu ini mereka membagikan kisahnya.

Tahukah kalian jika mom shaming bisa terjadi pada siapa saja. Pelakunya mulai dari orang terdekat hingga yang tidak kita kenal di media sosial. Melansir Psychology Today mom shaming memiliki makna perilaku mengritik seorang ibu dengan tujuan membuatnya malu atas keputusan yang berhubungan dengan pola asuh anak. 

Seperti kisah yang dialami oleh Siti Nur Aminah, seorang ibu empat anak yang sejak anak pertama sudah mengalami mom shaming, terlebih saat memiliki anak pertama adalah pelajaran baru menjadi seorang ibu. “Dulu aku tak paham apa itu mom shaming, hanya merasa kenapa ucapan mereka menyakitkan, mengapa mereka harus membandingkan hal-hal yang tak perlu. Bukan malah mengajari menjadi ibu yang baik, mengapa mereka tidak memahamiku?” ucap perempuan asal Jawa Timur ini saat dihubungi melalui pesan instan, Rabu 21 Desember 2022. 

Efek dari mom shaming itu, lanjut Nur Aminah terasa lebih menyakitkan, karena diucapkan atau dilakukan orang-orang terdekat seperti orang yang dituakan, saudara atau teman yang lebih dulu memiliki anak. “Mereka selalu membandingkan anakku yang kebetulan saat menginjak usia setahun mengalami penurunan badan badan karena semakin aktif bergerak, dengan anak lain yang tetap gemuk meskipun bertambah usia. Bukan hanya tubuh anak saja yang dibandingkan, tapi tubuh saya pun mereka jadikan olokan, seperti anaknya kurus tapi ibunya tambah gemuk (atau semakin kurus). Kurangin (tambahin) makannya dong,” paparnya. 

Ilustrasi wanita sedih dan kecewa. Freepik.com

Tidak berhenti sampai di situ, orang-orang terdekatnya juga mengomentari hal-hal yang tak perlu seperti wajah si ibu yang semakin kusam (tak terawat), rumah yang tak terurus (berantakan), dan anak yang lain (kakak si bayi) yang tidak diurus karena sibuk mengurus adiknya. 

“Hal yang paling menyakitkan adalah dianggap salah karena memiliki banyak anak sehingga anak yang lain tak diurus, padahal mereka tidak tahu kalau saya selalu berusaha melakukan hal terbaik, adil pada anak-anak, pun soal urusan rumah,” ungkap perempuan 32 tahun ini.  

Begitu pula dengan ibu dua anak Rezki Alvionitasari yang sering mengalami mom shaming terkait dengan berat badan. Ia membagikan kegelisahannya melalui pesan instan, Rabu 21 Desember 2022. “Kalau berat badan naik langsung dibilang gendut tidak bisa menjaga berat badan. Sebaliknya kalau lagi kurus disorot juga, seperti wah kamu kok kurusan (dipikir banyak masalah, tidak hidup bahagia). Terkadang saya sampai heran, kenapa baru bertemu yang ditanya malah urusan berat badan,” ucap perempuan asal Makassar ini.

Lain lagi dengan Widya seorang ibu dua anak dengan jarak delapan tahun, yang mengalami mom shaming dari lingkungan terdekatnya saat ia hamil. “Aku mengalami mom shaming dari kehamilan anak pertama dan kebanyakan dari lingkungan terdekat (keluarga dan tetanggarumah). Lalu lanjut di kehamilan anak kedua, mom shaming dari medsos juga akhirnya tidak bisa dihindari,” ucapnya saat dihubungi melalui pesan instan, Rabu 21 Desember 2022. 

Menurut perempuan asal Bandung ini, mom shaming yang sering ia terima berupa obrolan ringan tapi terasa tidak nyaman. “Jadi, saat hamil anak pertama, sebagaimana ibu-ibu hamil lainnya, aku juga mengalami naik turun hormonal, berikut dengan efek hormonalnya. Nah, yang aku alami adalah berjerawat bukan hanya di wajah tapi di badan yang tentu diikuti juga dengan kenaikan berat.”

Widya kerap dibilang selama hamil jerawatnya banyak, ditanya berat badan, dibilang gemuk sekali hingga warna leher yang menghitam juga dipertanyakan. “Kesel sih, beberapa kali coba jelaskan tentang kondisi hormonal ini, tapi ya malah dibalikin dengan mereka justru nge-compare keadaan kehamilan mereka dulu dengan kehamilanku pada saat itu,” keluhnya. 

Bukan berhenti usai melahirkan, kondisi di atas terulang kembali di kehamilan yang kedua dengan keadaan hormonal berbeda. Tubuh Widya jauh lebih kurus, baby bumb keliatan lebih kecil, walaupun dokter bilang kondisi bayinya sehat tak kekurangan suatu apapun. Namun, rasanya seperti serba salah sebab topik shaming berubah ke selama hamil menjadi kurus harus makan banyak, hamil tujuh bulan perutnya kecil, semua komentar baik secara langsung atau di media sosial mengarah ke mom shaming

Sempat Merasa Baper dan Stres

Ilustrasi stres/bingung. Shutterstock.com

Nur Aminah mengaku di awal-awal menjadi ibu sempat menangggapinya dengan baper atau bawa perasaan. Ia mengaku bisa spontan menangis atau menyendiri di rumah (memilih tidak mengajak anak bermain di rumah tetangga atau teman seumurannya), karena takut mendengar ucapan tidak mengenakkan. 

“Namun sekarang, anggap saja sebagai pengalaman berharga seorang ibu. Setiap ibu akan melewati proses mom shaming bahkan tidak pernah diinginkan sekalipun, karena saya atau ibu lain tidak bisa mengontrol ucapan ataupun tindakan yang mereka anggap biasa saja,” lanjutnya.

Widya juga mengaku jika efek mom shaming cukup membuatnya stres, rasa insecure jadinya setiap bepergian atau ketemu orang. “Akhirnya aku mulai berpikiran negatif kalau pasti nanti akan dapat komentar tidak enak, jadi aku memilih lebih sering di rumah,” selorohnya. 

Lantas apa yang dilakukan Nur Aminah? “Aku menjawab secara langsung atau spontan saat mereka mengucapkan hal yang menyakitkan dan tak berdasar, memberi pertanyaan balik pada mereka, menyindir kembali seperti yang mereka lakukan. Namun hal tersebut hanya bertujuan menguatkan psikis saya, membela diri dan sebagai benteng, juga agar mereka mengerti apa yang mereka ucapkan itu menyakitkan.”

Widya juga punya cara untuk menghadapi mom shaming yakni dengan memahami keadaan mereka. Seperti misalnya yang komentar tidak smua seumuran dengan dia, beberapa lebih tua, akhirnya Widya yang coba memahami jika beda generasi maka pemahaman mengenai kehamilan pun berbeda.

"Kalau dulu aku dapat saran dari bidan, aku harus selalu menerapkan afirmasi positif untuk aku dan bayi dalam perut. Terlebih saat mendapat mom shaming and yes it works, aku lebih tenang, aku enggak buru-buru jelaskan ke mereka. Mom shaming selama kehamilan bahkan sampai kelahiran pun mungkin tidak bisa kita hindari, karena kita tidak bisa memaksakan setiap orang untuk mengerti keadaan kita dan anak kita. Alangkah lebih baiknya kita sendirilah yang mampu mengatasi menghadapi mom shaming ini dengan bijak,” urai Widya.

Berartinya Support System

Ilustrasi seorang ibu yang tersenyum bahagia. shutterstock.com

Tidak semua perempuan punya akses konsultasi ke tenaga professional, salah satunya yang dialami Nur Aminah. Tinggal lingkungan desa tidak sampai berpikir meminta tolong pada tenaga profesional, atau mungkin karena selama ini ia merasa bisa menanganinya sendiri, menguatkan diri sendiri, dan menganggap hal tersebut adalah pembelajaran berharga menjadi seorang ibu

“Jika kamu tidak melalukan hal yang seperti meraka ucapkan, mengapa harus sedih?' begitulah ucapan suami. 'Kalau dibuli (dihina), kembalikan ucapan itu pada mereka,' ajar kakakku. Aku kuat karena anak-anak, karena kebahagiaan dan kesehatan mereka sebagai pembuktian bahwa aku layak menjadi seorang ibu yang mungkin di mata orang lain biasa saja, tapi berharap luar biasa di mata anak-anak tercinta."

Widya yang tinggal di kota, sempat terpikir membutuhkan psikolog untuk mengatasi stresnya saat itu. “Tapi pada prosesnya aku berusaha menceritakan kejadian yang aku alami saat konsultasi ke dokter dan bidan, akhirnya mendapat solusi dari mereka. Jadi aku pikir lagi selama saran dari mereka bisa aku jalani dan ternyata berhasil, ya aku masih belum perlu sampai ke psikolog,” tambah Widya. 

“Tapi tentunya menghadapi mom shaming memang tak lepas dari dukungan orang-orang terdekat. Ada mamaku, beberapa sahabat, dan bidan yang sering aku tanya-tanya. Support system terbesar ya dari si anak sendiri walaupun pada saat itu masih di dalam perut.”

Seperti yang diceritakan oleh Sahabat Cantika di atas, tindakan mom shaming sering dianggap sepele. Faktanya, mom shaming punya dampak besar terhadap kondisi psikologis ibu. Tak jarang, dampak ini berimbas pada pengasuhan anak.

Penelitian tentang mom shaming pernah dilakukan Rumah Sakit Anak C.S. Mott di bawah naungan Universitas Michigan, Amerika Serikat, terhadap 475 ibu yang memiliki anak usia 0 sampai 5 tahun di negeri itu. Penelitian yang dilakukan pada 2017 ini menyimpulkan 61 persen ibu pernah menerima kritik tentang cara pengasuhan mereka.Kebanyakan pelakunya justru dari pihak keluarga, dari pasangan hingga orang tua maupun mertua. Masih menurut penelitian tersebut, 70 persen ibu dikritik terkait cara mendisiplinkan anak.

Perwakilan Rumah Sakit Anak C.S. Mott di Amerika Serikat, Anna Kauffman, menyebutkan bahwa membesarkan anak adalah waktu yang sangat menyenangkan dalam hidup, terutama pada tahun-tahun pertama. “Saat itulah para ibu harus membuat serangkaian pilihan setiap hari untuk anak mereka. Kritik bisa berdampak pada kemampuan ibu membuat keputusan penting. Kritik yang terjadi terus menerus bisa mengganggu kesehatan, baik ibu maupun anak,” Kauffman mengingatkan.

Banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan mom shaming. Psikolog sosial, Susan Newman, melalui artikelnya yang dipublikasikan di situs web Psychology Today memerinci beberapa faktor mengapa seseorang mengkritik keras seorang ibu.

Ada yang hanya ingin menyombongkan diri seolah ia mengetahui segala hal tentang pengasuhan anak. Ada pula yang melakukan karena penyesalan di masa lalu. “Kebanyakan mom shaming merupakan cara seseorang menutupi rasa tidak aman atau rasa bersalah terhadap suatu hal yang mereka harap bisa ubah terkait pengasuhan anak,” ungkap Newman.

Sedangkan, mom shaming yang dilakukan orang terdekat kemungkinan karena mereka ingin terlibat dalam mengasuh anak. Hal ini biasanya dilakukan para orang tua. Untuk mengatasi mom shaming, Newman menganjurkan untuk tidak terpengaruh dengan gaya pengasuhan orang lain. Setiap ibu punya perjuangan masing-masing dalam merawat dan membesarkan anak.

Baca: Kain Batik Jadi Pilihan Kado di Hari Ibu, Simak 5 Tips Merawatnya Berikut Ini

PSYCHOLOGY TODAY | YAYUK WIDIARTI

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."