Presiden Jokowi Kenakan Baju Adat Paksian Bangka Belitung, Ini Maknanya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Paksian dari Bangka Belitung menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya saat menghadriri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2022, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 16 Agustus 2022. ANTARA FOTO/HO-Setpres-Agus Suparto

Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Paksian dari Bangka Belitung menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya saat menghadriri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2022, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 16 Agustus 2022. ANTARA FOTO/HO-Setpres-Agus Suparto

IKLAN

Pengamat mode Indonesia Fashion Chamber (IFC) Lisa Fitria mengungkapkan, Presiden Joko Widodo ingin menyampaikan pesan optimisme melalui busana adat Paksian dari Provinsi Bangka Belitung yang dikenakannya dalam pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa.

Presiden Jokowi mengenakan baju adat berupa jubah sepanjang betis berwarna hijau tosca dengan ornamen motif rebung di bagian ujungnya, ditambah selendang berwarna senada dengan kemeja dan celana. Motif rebung melambangkan keharmonisan dan kerukunan, sedangkan warna hijau mengandung filosofi kesejukan, harapan, dan pertumbuhan.

"Warna hijau identik dengan warna kemakmuran, identik dengan semangat dan optimisme, religi. Hijau ada turunannya, termasuk yang kamu pakai kan," kata Lisa.

Menurut dia, warna tosca juga bisa melambangkan laut. Indonesia yang memiliki banyak pulau identik dengan kesuburan dan kemakmuran, mungkin inilah alasan Presiden memilih warna hijau.

Di bagian kepala, Presiden mengenakan penutup kepala atau sungkon berwarna khaki. Warna yang masih turunan dari emas melambangkan kemakmuran dan kekayaan. Warna emas diwakili oleh kain sarung yang dipadukan dengan warna merah yang dikenakan Presiden di balik jubahnya.

“Kalau kemarin kita prihatin, sekarang kita harus bangkit. Negara kita kaya, mampu bangkit dari keterpurukan selama pandemi. Dibandingkan negara lain, Indonesia tidak mengalami inflasi yang luar biasa. berani, mampu melewati ini dengan baik," jelas Lisa.

Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Bangka Belitung saat menyampaikan pidato dalam rangka penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato dalam rangka HUT ke-77 Kemerdekaan RI pada sidang tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI - DPD RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Melalui busana Paksian dari Bangka Belitung yang memadukan budaya Arab, Melayu, dan Tionghoa, Presiden membawa pesan persatuan. Masyarakat Indonesia yang akan menghadapi tahun politik dua tahun ke depan, diharapkan tetap hidup rukun dan bersatu.

"Karena mendekati tahun politik yang biasanya 'menggoreng' SARA, mungkin ini bisa digunakan untuk menyampaikan pesan bahwa kita harus bersatu," kata Lisa.

Tahun lalu, Presiden mengenakan baju adat suku Badui luar, Jamang Sangsang, pada Sidang Tahunan MPR, Sidang Gabungan DPR-DPD RI. Lisa menilai, ada kesan dan pesan sederhana dalam momen melihat Presiden memakai baju yang sering disebut baju kampret ini.

Presiden juga tampak menyampaikan harapan agar masyarakat Indonesia dapat mencontoh masyarakat Badui yang menghargai alam dan budayanya. Ia ingin masyarakat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menghidupkan kembali sisi spiritual yang mungkin sedikit terpinggirkan selama tahun pandemi COVID-19.

Efek berbeda muncul saat Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Sabu asal Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2020 di acara yang sama. Saat itu, Presiden terlihat kharismatik dan berani. Lisa menuturkan, pemilihan warna dan motif dasar membuat pakaiannya terlihat mewah dengan cara memakai yang masih menganut bungkusan.

Baca: Dampingi Jokowi di Sidang Tahunan MPR, Iriana Jokowi Pakai Kebaya Modern Pink

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."