Tidak Bisa Instan, Ini 3 Tahapan Anak Belajar Empati

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi anak dan orang tua melakukan kegiatan seru. Freepik.com/Jcomp

Ilustrasi anak dan orang tua melakukan kegiatan seru. Freepik.com/Jcomp

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Sikap empati tidak bisa diajarkan secara cepat pada anak. Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan ada beberapa tahap yang perlu dilalui anak saat belajar empati. Dalam mengajarkannya, orang tua diminta untuk terus bersabar menghadapi perkembangan anak belajar rasa ini. "Pembelajaran tersebut harus dipraktikkan berulang kali dan bertahap," kata Anna dalam konferensi pers bertajuk "Lifebuoy Shampoo Luncurkan Kampanye yang Ajak Keluarga Indonesia Jadikan Rambut Sehat Sebagai Kekuatan untuk Berbagi Kebaikan" pada 2 Juni 2022.

Anna mengatakan dalam belajar empati, keluarga perlu memahami terlebih dahulu bahwa kemampuan menolong, kemampuan berbagi itu tidak muncul secara langsung, namun bertahap. Ia menambahkan bahwa ada tiga tahap yang perlu dilewati anak. "Artinya, kira-kira menginjak pendidikan SMP ia baru menyadari secara utuh dia bisa berbagi," sambungnya.

Tahap pertama adalah tahap pra-sekolah. Di usia tersebut, anak belum melakukan tindakan berbagi berdasarkan kesadarannya sendiri. Menurut Anna, ketika anak di usia pra sekolah berbagi kepada temannya sesuatu, anak itu baru mengerti bahwa ia berbagi itu hanya untuk dipuji orang tua atau orang sekitarnya. "Jadi di usia ini, dia berbagi lebih karena dia tahunya itu adalah hal yang dipuji oleh orang tuanya. Bukan karena dia sadar kalau itu memberikan kebaikan," kata Anna.

Tahap berikutnya adalah di usia Sekolah Dasar. Belajar empati di usia ini, anak kira-kira baru menyadari bahwa menolong orang itu hanya sebagai respon dari permintaan orang lain. "Saat ini, anak menolong atau berbagi karena dia merespon saja apa yang diminta oleh orang lain. Jadi ibaratnya disuruh sama orang tua, baru dia melakukannya," kata Anna.

Umumnya pada usia-usia tersebut, anak masih sulit untuk bersabar dan berbagi. Anna mencontohkan dalam hal mengantre ayunan atau meminjamkan mainan kepada temannya. Anna meminta orang tua terus bersabar mengajarkan anak belajar empati. Para orang tua dan orang dewasa di sekitar anak pun perlu untuk tidak berhenti menanamkan sikap tersebut kepada buah hati.

"Jadi kalau orang tua bilang, kok belum sadar-sadar sih, memang belum. Itu sudah sesuai dengan tahap perkembangannya. Tahap ketiga, biasanya di usia anak SD akhir dia melihat berbagi itu adalah cara dia untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya nama baik, pujian, dan lain sebagainya," kata Anna.

Baru nanti ketika anak sudah memasuki usia Sekolah Menengah Pertama, anak baru akan sadar soal berbagi dari hati nuraninya sendiri. 'Oh memang saya nih perlu melakukan kebaikan'. Walaupun dia dari kecil kesannya belum sadar, tidak berarti ketika mengajarkan berbagi, malah dimarahin karena belum sadar," katanya.

Mengajarkan anak belajar empati tidaklah mudah. Anna menyarankan agar para orang tua tidak terburu-buru menumbuhkan rasa empati kepada buah hati. Karena ketika mendapatkan praktik terus menerus sejak kecil, maka orang tua baru dapat merasakan manfaatnya di masa depan ketika sang anak sudah tumbuh dewasa.

Sebelumnya, Lifebuoy Shampoo meluncurkan kampanye “Berbagi Kebaikan” di tengah momen peringatan Hari Anak Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 Juni. Lifebuoy Shampoo berkolaborasi dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) mengajak sebanyak mungkin keluarga Indonesia berbagi kebaikan dengan para pejuang kanker melalui berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan membagikan potongan rambutnya agar nanti dijadikan wig untuk para pasien kanker.

Head of Marketing Hair Care PT Unilever Indonesia Agus Nugraha menyampaikan Lifebuoy Shampoo memiliki purpose untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak sejak dini. "Hal ini semakin penting di tengah fakta bahwa physical distancing yang dialami anak-anak selama pandemi berlangsung telah berdampak besar pada perkembangan sosial mereka,” katanya.

Seorang terapis keluarga di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa pandemi membuat anak kehilangan kesempatan untuk membangun keterampilan sosialnya, seperti kemampuan berinteraksi dengan teman sebaya, memecahkan masalah, hingga berlatih memiliki sikap empati.

Penelitian dari Universitas Negeri Yogyakarta juga menemukan bahwa selama pandemi 96 persen anak mengalami penurunan terkait pencapaian aspek perkembangan sosial emosi, terutama dalam segi perkembangan perilaku prososial, atau yang secara awam disebut perilaku tolong menolong. Anda masih semangat mengajarkan anak belajar empati?

Baca: Belajar Rasa Empati Bisa Melalui Musik?

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."