Faktor Sulit Evaluasi Diri, Takut Menemukan Fakta Buruk Soal Diri Sendiri

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Diskusi virtual dengan Talkinc bertajuk

Diskusi virtual dengan Talkinc bertajuk "Unlocking Limitless Imagination" pada 25 November 2021/Talkinc

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Psikolog Klinis Tara de Thouars mengatakan ada beberapa alasan orang sulit melakukan evaluasi diri. Salah satu alasannya adalah rasa takut mereka menemukan fakta kejelekan soal diri sendiri. "Banyak orang takut mengevaluasi diri, karena nanti akan menemukan hal-hal jelek soal diri sendiri. Mungkin mereka belum bisa menerima kekurangan itu," katanya pada diskusi virtual bertajuk Unlocking Limitless Imagination bersama Talkinc pada 25 November 2021.

Tara mengatakan bila selalu mengelak untuk mengevaluasi diri, dan tidak mau menghadapi fakta soal keburukan masing-masing, hal itu akan mempersulit seseorang untuk berkembang. "Kita jadi tidak bisa lakukan apapun apalagi pengembangan diri," katanya melanjutkan.

Evaluasi diri membantu seseorang mengetahui kondisinya masing-masing. Ia bisa tahu apakah dirinya sedang mengalami cemas, atau pun bahagia. Setelah mengetahui kondisi diri, perlu pula untuk jujur mau menerima kondisi itu. "Kita harus menerima kekurangan kita," katanya.

Tara mengatakan bahwa pikiran seseorang bisa saja memanipulasi diri, namun badan orang itu tidak akan bisa berbohong. "Badan bisa rasakan apakah kegiatan yang dilakukan itu enak atau tidak, nyaman atau tidak," katanya.

Salah satu cara mudah untuk melakukan evaluasi diri, kata Tara, adalah saat hendak tidur. Ia menyarankan masyarakat untuk merenungkan kegiatan sehari penuh. Tara juga menyarankan agar masyarakat merasakan dengan benar, apakah tubuh masing-masing itu, enak atau tidak menjalankan hari itu. "Kita mungkin saja harus jujur dan mengakui bahwa kita belum bisa sebaik yang kita inginkan," katanya.

Founder dan CEO dari Talkinc Erwin Parengkuan setuju bahwa evaluasi diri membuatnya semakin berkembang. Hal itu dirasakannya ketika membangun Talkinc dari yang awalnya hanya ajakan ringan dari koleganya, hingga saat ini sudah berusia 17 tahun.

Erwin bercerita bahwa tadinya Talkinc, hanya memiliki 4 modul, namun karena terus menerima masukan dan mengevaluasi bisnis, Erwin dan tim saat ini sudah menghasilkan 34 modul, 9 buku, dan membantu 400 klien serta sudah mengajar sekitar 300 ribu murid.

Intuisi dari hasil evaluasi diri itu, membantunya terus bertumbuh. Ketika pandemi datang, misalnya, Erwin mengatakan timnya dengan mudah mengubah model bisnis dari offline ke online. "Beruntung infrastrukturnya sudah kita siapkan sejak 2 tahun sebelum pandemi Covid-19 ada di Indonesia pada 2020," katanya.

Salah satu momen intuisi lain yang Erwin ingat hasil evaluasi diri adalah kehadiran Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat. Gaya komunikasi Barack Obama yang berbeda dari yang lain menyadarkan Erwin bahwa gaya komunikasi akan berubah dari yang dulu kuno dan pelan, menjadi cepat dan lugas. "Momentum Barack Obama menjadi presiden ke44, memberikan cerminan jelas bahwa parameter leader itu harus kayak Obama yang berbicara lentur, ngomong jelas dan tidak bertele tele. Obama juga bisa menyampaikan maksud dan mengartikulasikan pesannya. Ia tipe ideal untuk para leader, serta parameter komunikator," kata Erwin.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."