Putus Siklus Toxic Parenting dengan 4 Cara Ini

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi orang tua dan anak. Freepik.com

Ilustrasi orang tua dan anak. Freepik.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Terkadang, mereka ingin melakukan yang terbaik, tetapi ternyata tanpa disadari itu bukanlah hal yang tepat dan malah berpotensi melukai hati anak-anak. Beririsan dengan tujuan mulia tersebut, terjadi sistem pola asuh yang justru dapat mengganggu mental anak hingga disebut sebagai toxic parenting. Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix pada 212 responden ibu berusia 20-35 tahun, 83 persen di antaranya mengetahui apa itu toxic parenting.

Hasil survei yang sama juga menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa 57 persen responden merasa dirinya adalah orang tua yang tegas, tetapi penyayang. Hal tersebut paling banyak ditunjukkan dengan memberikan pelukan dan ciuman kepada si Kecil.

Nah, ada fakta unik dari toxic parenting yang ditemukan oleh para ahli psikologi. Orang tua yang toksik datang dalam berbagai bentuk. Beberapa sangat jelas terlihat, sementara beberapa melakukannya dengan cara yang implisit dan lebih halus. Namun, semuanya sama: bersifat destruktif.

“Bahkan toxic parents terkadang bisa penuh kasih, hangat, atau mengasuh. Mereka bersungguh-sungguh mencintai anaknya. Tetapi ingat, cinta melibatkan lebih dari sekadar perasaan yang diungkapkan. Cinta sejati terhadap anak-anak juga merupakan cara berperilaku,” kata Psikolog Klinis sekaligus Dosen Psikologi Islam IAIN Kediri, Tatik Imadatus Sa’adati, pada keterangan pers yang diterima Cantika pada 14 September 2021.

Oleh karena itu, Tatik memberikan beberapa langkah yang bisa orang tua lakukan untuk mencegah atau memutus pola asuh beracun, antara lain:

1. Minta maaf kepada anak
Jika orang tua sudah telanjur kehilangan kesabaran dan melakukan kesalahan, misal mengeluarkan kata cacian, mau tidak mau orang tua harus meminta maaf kepada anak. Selanjutnya, bicarakan dengan bahasa yang dipahami anak. Ingatkan anak bahwa ibunya sangat mencintainya dan jelaskan kepadanya mengapa ibunya kehilangan kesabaran. Penting untuk menjelaskan bahwa situasi itu terjadi bukan karena si kecil anak yang nakal.

2. Menurunkan ekspektasi
Ketika memiliki ekspektasi yang tinggi dan hal yang diinginkan tidak bisa terwujud, seseorang akan cepat lelah, lalu menjadi toxic parent. Meluangkan waktu untuk me time adalah salah satu cara agar seorang ibu mampu menurunkan ekspektasinya. Ketika me time, ia menerima bahwa kondisinya bisa lelah dan butuh waktu untuk memulihkan dirinya sendiri.

3. Mengelola stres
Dengan ekspektasi yang disesuaikan dengan kondisi, maka seorang ibu akan lebih mudah untuk mengelola pikirannya, yang dapat menjadi sumber stresnya.

4. Bangun komunikasi efektif dengan pasangan
Berdasarkan survei, 68 persen responden mengakui bahwa kesibukan masing-masing sering menjadi pemicu konflik pasangan saat mengasuh si kecil. Para ibu menyadari bahwa kurangnya istirahat dan bantuan suami untuk mengurus tugas rumah tangga menjadi dua faktor yang memengaruhi suasana hati ketika mengasuh anak.

Dari sini, semua responden setuju bahwa suami berperan penting dalam kewarasan istri. Ingat, komunikasi akan efektif jika kedua pihak mendinginkan pikiran terlebih dahulu dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.

Yang penting dipahami, perilaku beracun orang tua bukanlah kesalahan atau tanggung jawab anak. Jika lingkaran toxic parenting datang dari pola asuh orang tua di masa kecil, siapa pun masih mungkin untuk mengubah dan memutusnya.

Sejarah toxic parenting dapat memberikan dua pengaruh. Yang pertama adalah mengulangi apa yang telah dialami, yang kedua adalah menjadi pendorong untuk melawan dan melakukan pola asuh dengan cara yang sama sekali berbeda. Jadi, amat penting untuk berkomitmen memutus siklus toxic parenting tersebut.

Baca: Awas Efek Toxic Parenting, Sering Merasa Bersalah

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."