Awas Efek Toxic Parenting, Sering Merasa Bersalah

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi anak dan orang tua. Freepik.com/Peoplecreations

Ilustrasi anak dan orang tua. Freepik.com/Peoplecreations

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Semua orang tua tentu ingin melakukan dan memberikan pengasuhan yang bahagia dan sehat untuk buah hatinya. Namun tak bisa dimungkiri, orang tua tetaplah manusia. Terkadang, mereka ingin melakukan yang terbaik, tetapi ternyata tanpa disadari itu bukanlah hal yang tepat dan malah berpotensi melukai hati anak-anak. Beririsan dengan tujuan mulia tersebut, terjadi sistem pola asuh yang justru dapat mengganggu mental anak hingga disebut sebagai toxic parenting.

Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix pada 212 responden ibu berusia 20-35 tahun, 83 persen di antaranya mengetahui apa itu toxic parenting. Setelah tahu, apakah para orang tua mencegahnya?

Toxic parenting datang dari perilaku yang dilakukan oleh toxic parents. Istilah orang tua yang toksik atau toxic parents tidak hanya berlaku untuk orang tua yang berperilaku buruk, seperti melakukan kekerasan fisik atau verbal. Psikolog Klinis sekaligus Dosen Psikologi Islam IAIN Kediri, Tatik Imadatus Sa’adati mengatakan menjadi orang tua yang bisa meracuni kondisi psikologis anak terhitung sebagai kekerasan psikis. "Termasuk pula ke dalam kategori orang tua yang toksik,"" kata Tatik pada 14 September 2021.

Pemahaman tentang toxic parenting juga tecermin dari hasil survei. Hampir semua responden, yakni sekitar 90 persen ibu, tahu tentang toxic parenting. Mereka mengatakan perilaku egoisme orang tua serta kekerasan verbal dan fisik merupakan contoh dari toxic parenting.

Ada beberapa ciri khas yang biasa ditemukan pada pola asuh yang toksik. Beberapa di antaranya adalah membicarakan keburukan anak, terutama di depan anak. Ada pula ciri egois, dengan selalu mengukur segala hal berdasarkan perasaan orang tua. Ciri lain lagi bertindak kasar kepada anak dan melakukan kekerasan fisik, seperti memukul, mencubit, dan lain-lain, menjadi kriteria yang paling mudah terhitung sebagai toxic parenting. Ada pula kebiasaan menagih balas budi dan mengejek, baik fisik maupun sifat anak.

Pertanyaannya kenapa seseorang bisa menjadi orang tua toksik untuk anak-anaknya pasti muncul di kepala kita. Dalam ilmu neuropsikologi, satu faktor yang paling berpengaruh adalah bagaimana pola asuh orang tua kita sebelumnya. Tatik menjelaskan bahwa seseorang yang dibesarkan oleh orang tua yang toksik, kebanyakan akan menjadi orang tua yang toksik pula untuk anaknya. "Pasalnya, tubuh menyimpan luka emosional dan fisik. Semua hal dan informasi yang dirasakan dan dialami saat kecil melalui panca indra, akan terekam di dalam sel-sel otak dan tubuh. Di saat terjadi sesuatu terhadap kita, maka akan dikelola oleh persepsi di otak dan disimpan di dalam memori sel dan otak," kata Tatik.

Ia menambahkan bahwa trauma dan kesedihan masa lalu itu lalu dapat tinggal di dalam diri orang tua untuk waktu yang lama dan ketika ada trigger tertentu, dapat kembali timbul ke permukaan. "Akhirnya, akan cenderung mengulangi pola perasaan yang sudah dikenal, tidak peduli seberapa menyakitkan dan merugikannya itu untuk diri sendiri,” kata Tatik.

Dengan kata lain, anak-anak dari orang tua yang toksik mencoba untuk menghidupkan kembali pengalaman lama mereka yang menyakitkan dalam hubungan dewasa lainnya. Tertinggal “goresan” abadi pola asuh yang salah dan pengaruhnya akan bertahan lama terhadap perilaku. Dari sini sudah terlihat, bahwa kerusakan ganda akan terjadi. Tumbuh dalam keluarga yang disfungsional dapat menyebabkan masa dewasa yang sama disfungsionalnya.

Ada beberapa efek buruk dari pola asuh yang toksik. Antara lain

1. Mengalami kesulitan untuk mengatakan tidak karena terbiasa merasakan batasan tidak dihormati.
2. Menjadi lebih rentan untuk mengembangkan gangguan kecemasan.
3. Bekerja keras untuk menyenangkan orang lain agar diterima.
4. Mengalami kesulitan untuk menjadi diri sendiri.
5. Memiliki toleransi yang tinggi terhadap perlakuan buruk dari orang lain.
6. Memiliki perasaan bersalah dan malu yang melumpuhkan. Hal ini sebagian besar karena perilaku toksik orang tua yang berulang membuat si Kecil terbebani dan harus bertanggung jawab atas perasaan orang tuanya.
7. Memiliki harga diri yang rendah.
8. Anak-anak dari orang tua yang kasar juga cenderung menjadi pelaku kekerasan bagi diri mereka sendiri dan akan menjadi pelaku kekerasan terhadap orang lain.

Baca: Bermain dengan Anak Bukan Hanya Tugas Ibu, Ayah Juga Mesti Terlibat

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."