Cerita di Balik Keputusan Kartini Menerima Lamaran Bupati Rembang

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mila Novita

google-image
Ilustrasi Hari Kartini. Shutterstock

Ilustrasi Hari Kartini. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kartini adalah perempuan berpikiran modern yang menentang poligami. Dia pernah mengungkapkan pemikirannya dalam surat kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900.

“Hampir semua perempuan yang kutahu di sini mengutuk hak-hak yang dimiliki laki-laki (poligami). Tapi harapan saja pasti sia-sia: sesuatu harus dilakukan. Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari bergandeng tangan dan bekerja bersama untuk mengubah keadaan yang tak tertahankan ini."
 
Tapi pada akhirnya dia tak kuasa menolak lamaran Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat yang baru kehilangan garwo padmi (istri utama), tetapi sudah memiliki tiga garwo ampil (selir).

Bupati Jepara Sosroningrat dan istrinya sebenarnya menyadari benar pandangan putrinya tentang poligami. Namun ia mengutarakan kepada Kartini, dengan semua keadaannya, Djojoadiningrat dikenalnya sebagai bupati yang progresif dan berpendidikan modern.

Lamaran Bupati Rembang itu membuat Kartini tertekan. Dia butuh tiga hari untuk mempertimbangkan masa depannya. Apalagi, saat itu dia  tengah menunggu jawaban atas permohonannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk bisa melanjutkan sekolah ke Batavia, setelah beasiswa ke Belanda bersama adiknya, Roekmini, dia batalkan.

“Ah, mengapa harus ada penghalang lagi di jalanku. Ini sungguh aneh," kata Kartini, seperti yang dituliskan adiknya, Roekmini di salah satu suratnya kepada Hilda G De Booy-Boissevain.

Dalam buku Kartini: Sebuah Biografi, Sitisoemandari Soeroto mengatakan hal yang paling memberatkan hati Kartini adalah besarnya keinginan dia membahagiakan Sosroningrat, orang yang paling ia sayangi. Ayahnya itu dalam kondisi sakit setelah terkena serangan jantung. Kartini tahu sang ayah sangat ingin melihatnya menikah. Apalagi, banyak tekanan kepada ayahnya dari sesama bupati serta lingkungan bangsawan berupa intrik, kasak-kusuk, dan fitnah tentang dirinya.

Satu lagi yang bikin dia makin tak berdaya. Di hari ketiga perenungannya, datang utusan lain yang membawa lamaran dengan surat yang disertai ancaman akan menebarkan guna-guna jika lamarannya ditolak. Kartini pun tak banyak berpikir lagi untuk menerima lamaran Bupati Rembang.

“Saat itulah Kartini menyadari keterbatasan kemampuannya…" tulis Sitisoemandari. "…Masyarakat Jawa belum dapat menerima kehadiran wanita yang mandiri."

Baca juga: Kartini Meninggal di Usia Muda, Ini Sosok yang Melanjutkan Perjuangannya

Meski demikian, Kartini mengajukan syarat kepada calon suaminya agar menyetujui gagasan dan cita-citanya. Dia juga meminta diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri pejabat Rembang dan membawa serta seorang ahli ukir Jepara untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial di sana.

Syarat lainnya, Kartini tak mau upacara pernikahannya ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria. Terakhir, ia akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko dan bukan kromo inggil kepada suaminya, sebagai penegasan bahwa seorang istri haruslah sederajat. Karena pola pikir yang modern, Djojoadiningrat menerima syarat itu.

Tapi keputusan itu mengubur banyak cita-citanya dan membuat banyak sahabatnya kecewa. “Ah, tapi siapa di bumi ini dapat membanggakan bahwa ia dapat menentukan sendiri seluruh hidupnya? Orang menemui orang lain, terjadi pergulatan, dan jalan hidupnya dibelokkan ke jurusan lain…. Apa salahnya menempuh jalan itu?" tulis Kartini dalam suratnya kepada Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara.

MAJALAH TEMPO

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."