Misteri Kematian Kartini dan Desas-desus yang Tak Pernah Terbukti

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum

Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaKartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904. Empat hari setelah melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit. Dia pergi dalam dekapan suaminya, Bupati Rembang Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat di atas dipan ukiran jati.

Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum meninggal, Raden Ajeng Kartini masih sehat. Dia hanya mengeluh perutnya tegang. Van Ravesteijn, dokter sipil dari Pati, datang dan memberinya obat. Setelah itu, tiba-tiba ketegangan di perut Kartini menghebat dan 30 menit kemudian dia meninggal.

"Pikirannya masih jernih dan sampai detik terakhir ia masih sadar sepenuhnya," tulis Djojoadiningrat 12 hari kemudian, ketika mengabarkan kematian istrinya kepada Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda.

Empat malam sebelumnya, di dipan yang sama, juga dengan pertolongan Ravesteijn, Kartini melahirkan Raden Mas Soesalit. Sebenarnya dia telah merasakan kontraksi satu hari sebelumnya. Namun dokter sipil di Rembang langganan Kartini, Bouman, tidak ada di tempat. Apa boleh buat, suaminya terpaksa memanggil Ravesteijn dari Pati, 35 kilometer dari Rembang. Sang dokter baru bisa datang esok paginya.

Dari pagi hingga sore, persalinan tidak kunjung berhasil. Buat mempercepat kelahiran, Ravesteijn lantas menggunakan alat bantu. Tidak jelas alat apa yang digunakannya, tapi sekitar pukul 21.30 Kartini berhasil melahirkan dengan selamat. Djojoadiningrat menggambarkan kondisi Kartini saat itu baik-baik saja. "Kecuali ketegangan perut, tidak ada apa-apa dengan Raden Ayu," ujarnya. Malam itu juga, tanpa ada rasa cemas, Ravesteijn kembali ke Pati.

Di hari keempat, Ravesteijn datang memeriksa kondisi Kartini. Menurut dia, Kartini masih baik-baik saja. Ketegangan di perut itu tak lain akibat luka ketika melahirkan. Ravesteijn lantas meminta Kartini meminum obat. Namun, setengah jam kemudian Kartini tak tertolong.

Kepada dokter Bouman, anak Van Ravesteijn pernah berkata bahwa kondisi Kartini pada 17 September itu sangat baik. Namun, tidak lama setelah Ravesteijn pergi, Kartini mengeluh sakit perut, sehingga Bupati menyuruh orang memanggil dokter kembali. Ketika dokter itu tiba lagi, kondisi Kartini sudah parah.

Kematian mendadak itu tak cuma mengejutkan, tapi segera memicu rumor bahwa Kartini mati diracun. Bouman bahkan sempat melakukan penyelidikan perihal kematian misterius itu. Dari seorang kawannya yang kenal Ravesteijn, ia mendapat informasi bahwa Ravesteijn adalah dokter yang tidak dapat dipercaya. "Kudanya saja tidak akan dipercayakan kepada dokter itu," ujarnya seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini, Sebuah Biografi (1979).

Hingga kini dugaan itu tak pernah terbukti. Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Kabupaten Rembang Edi Winarno menganggap kecurigaan itu tak berdasar. Menurut dia, tidak ada alasan bagi orang di sekitar Raden Ajeng Kartini untuk membunuhnya.

Karena bukti yang tak cukup, Saparinah Sadli, penulis buku Kartini Pribadi Mandiri, cenderung sependapat dengan dugaan bahwa kematian itu memang dipicu oleh gangguan kesehatan setelah melahirkan. "Sekarang saja masih banyak kasus serupa, apalagi dulu ketika ilmu kedokteran masih belum maju," katanya.

Salah satu kemenakan Kartini, Sutiyoso Condronegoro, mengakui santernya isu miring seputar kematian Kartini. Tapi keluarganya lebih suka menganggapnya sebagai hal lumrah akibat proses kelahiran yang berat. "Desas-desus itu tidak bisa dibuktikan," ucapnya seperti dikutip Sitisoemandari.

MAJALAH TEMPO 

Baca juga:
Cerita Kartini yang Batal Sekolah di Belanda setelah Bertemu Abendanon

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."