Alasan Perempuan Enggan Bicara saat Alami Kekerasan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi wanita mengalami kekerasan psikis atau tertekan. shutterstock.com

Ilustrasi wanita mengalami kekerasan psikis atau tertekan. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Kekerasan pada perempuan masih memprihatinkan. Berdasarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020 (Annual Record of Violence in 2020), dalam 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 792 persen, yang berarti telah terjadi peningkatan sebesar hampir 8 kali lipat.

Sejak masa pandemi Covid- 19, kasus-kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga  juga meningkat secara signifikan dan telah menjadi perhatian publik.

Sementara, berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan telah meningkat sebesar 75 persen sejak masa pandemi.

Stres, terganggunya jejaring perlindungan dan sosial, hilangnya pendapatan, dan menurunnya akses ke layanan publik menjadi pemicu kekerasan terjadi.

Ternyata ada kemungkinan sejumlah kekerasan yang tidak terungkap selama pandemi. Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Tuty Kusumawati tidak mengelak informasi tersebut. 

Tuty Kusumawati, Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta. (Foto: Dok. Pribadi)

Salah satu sebabnya, di masa pandemi layanan pengaduan dialihkan menjadi layanan online bisa menyulitkan beberapa pihak yang tidak mampu menggunakan layanan online atau tidak mempunyai fasilitas untuk mengadu secara online.

"Di luar itu untuk datang langsung pun akan berat di masa pandemi ini dengan adanya pembatasan moda transportasi umum yang biasanya diakses oleh korban dan rasa takut terpapar covid-19," ucap Tuti kepada Cantika beberapa waktu lalu. 

Selain bicara tantangan akses pengaduan, Tuty juga menekankan pentingnya keberanian perempuan untuk berbicara saat alami kekerasan. Lantas, apa saja alasan perempuan enggan bicara atau melapor saat alami kekerasan?

"Banyak pelaku yang tidak tahu bahwa dirinya melakukan kekerasan, akan tetapi ada beberapa yang mengetahui bahwa dirinya melakukan kekerasan namun mencari pembenaran atas perilaku tersebut, dan beberapa berusaha berlindung dari jeratan hukum dengan mencari berbagai alasan," ucap Tuty.

Kondisi di atas tentu sangat disayangkan karena menghambat proses penegakan hukum. Ada pula yang merasa mereka berkontribusi terhadap tindakan si pelaku entah suami ataupun orang yang lebih berkuasa.

Baca juga: 4 Bentuk Kekerasan Ini Dialami Perempuan saat Pandemi

Maka dari itu, pentingnya akses pengaduan diperkuat dan dibuka selebar-lebarnya sehingga korban kekerasan dapat terfasilitasi. Menurut Tuty, di masa pandemi ini sangat penting dilakukan penguatan pendampingan berbasis masyarakat sehingga ketika korban tidak dapat mengakses layanan secara mandiri dapat dibantu oleh tetangga/kader yang ada di wilayah terdekatnya.

Untuk korban yang melapor ke P2TP2A (Pusat Pelayan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta tetap diberikan layanan pendampingan sesuai kebutuhan korban.

"Dalam konsep pendampingan korban harus mengarah kepada proses pemberdayaan, membantu korban untuk mengidentifikasi potensinya dan menguatkan korban untuk bisa berdaya menghadapi masalahnya," lanjutnya.

Provinsi DKI Jakarta melalui UPT P2TP2A memberikanan layanan komprehensif kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang lapor baik yang memiliki KTP DKI Jakarta maupun TKP DKI Jakarta Perlindungan perempuan dan anak menjadi prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang termuat dalam Kegiatan Strategi Daerah Nomor 13.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."