Komnas Perempuan tentang RUU Ketahanan Keluarga: Tumpang Tindih

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi keluarga bahagia/harmonis. Suami mencium istri. Shutterstock.com

Ilustrasi keluarga bahagia/harmonis. Suami mencium istri. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga sedang menjadi topik hangat di masyarakat. Pasal-pasal yang mengatur peran suami dan istri hingga masuk ranah privat menuai berbagai macam kritik. RUU ini dinilai mencampuri ruang-ruang privat warga negara.

Menurut Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad, tidak ada hal-hal baru yang subtansi dalam RUU Ketahanan Keluarga seperti yang telah tertuang di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

“Sebenarnya secara subtansi, itu kan sudah diatur di beberapa undang-udang yang sudah ada. Misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur relasi suami istri. Kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga sudah diatur secara substansi, apalagi di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Bahrul saat dihubungi TEMPO.CO, Jumat 21 Februari 2020.

Menurutnya, jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan, akan tumpang tindih dengan Undang-Undang yang lain, karena secara subtansi sudah banyak kesamaan. Jika dicermati lagi, RUU tersebut masih absurd dan general.

“Jadi, itu susah untuk diimplementasikan. Karena definisi-definisi tentang keluarga kan masih bias juga. Di Indonesia masih banyak keluarga yang single parent. Hanya ada ibu saja yang menjadi kepala keluarga,” tutur Bahrul. 

Jika dikaitkan dengan visi misi pemerintah yang ingin membangun sumber daya manusia yang unggul, maka RUU Ketahanan Keluarga terkesan bertentangan. Menurut Bahrul, RUU ini menarik kembali perempuan ke ranah domestik.

“Kalau kata orang Jawa, istilahnya perempuan hanya kasur, dapur dan sumur. Di mana perempuan semestinya didorong untuk bisa menggapai ranah publik, posisi-posisi publik dan bisa ikut berkontribusi dalam pembangunan,” jelas Bahrul.

Oleh karena itu, menurut Bahrul, pembahasan RUU Ketahanan Keluarga hanya buang-buang waktu dan pemerintah lebih baik cepat menyelesaikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

“Menurut saya kita buang-buang waktu kalau sampai bahas ini. Buang energi dan biaya juga. Justru yang lebih penting sekarang, bagaimana mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. Nah ini kan untuk melindungi perempuan,” pungkas ia.

 

ALFI SALIMA PUTERI

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."