Studi: Media Sosial Pengaruhi Kebiasaan Makan, Kamu Termasuk?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi wanita menikmati makanan di restoran. Unsplash/Pablo Merchan

Ilustrasi wanita menikmati makanan di restoran. Unsplash/Pablo Merchan

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Hal apa pun yang dibagikan teman di media sosial bisa mempengaruhi pilihan makanan dan pola makan kamu sehari-hari. Entah itu pilihan makanan sehat maupun makanan kurang baik untuk kesehatan seperti junk food. Hal ini, menurut penelitian terbaru dari Universitas Aston di Birmingham, Inggris, terjadi karena konten yang kamu saksikan itu menjadi semacam norma sosial dalam lingkaran pertemanan daring.

Hal tersebut membuat kamu tanpa sadar mengikuti preferensi mereka, termasuk dalam soal pilihan makanan. "Studi ini menunjukkan bahwa, tanpa sadar, pola makan dan pilihan makanan kita mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh orang lain," kata seorang peneliti, Lily Hawkins, seperti dikutip dari Healthline.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Appetite itu, para peneliti bertanya kepada 369 mahasiswa tentang konsumsi buah-buahan, sayuran, makanan kecil padat energi, dan minuman manis, serta bagaimana mereka menggunakan Facebook dan media sosial lainnya. Mereka juga ditanyai mengenai persepsi tentang kebiasaan makan dan preferensi teman-teman online mereka.

Berangkat dari temuan ini, para peneliti melihat kemungkinan penggunaan media sosial untuk mendorong orang agar lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayuran serta lebih sedikit memakan camilan dan minuman dengan pemanis buatan. "Kita dapat menggunakan media sosial sebagai alat untuk mempengaruhi perilaku makan satu sama lain dalam kelompok pertemanan," ujar Lily Hawkins.

Para ahli menilai norma sosial yang terbentuk melalui media sosial seperti ini terbukti berpengaruh dalam banyak kampanye kesehatan masyarakat. Misalnya, 'jangan mabuk dan mengemudi' dan 'kampanye anti-vaping di kalangan remaja'. Dalam kampanye semacam itu, orang-orang banyak meniru perilaku yang diidentifikasi sebagai hal-hal yang dilakukan kebanyakan orang. "Dan berpotensi menggunakan pengetahuan ini sebagai alat untuk mengintervensi kesehatan masyarakat," Lily menambahkan.

Asisten profesor psikiatri di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania, Alix Timko memperkuat temuan studi tadi. "Ketika seseorang berpikir bahwa teman-temannya lebih banyak dan sering menyantap buah-buahan dan sayuran, mereka juga mengaku makan lebih banyak buah dan sayuran," kata Alix Timko. Begitu pula ketika seseorang melihat teman-teman media sosial mereka lebih banyak mengkonsumsi makanan dan minuman manis, mereka pun mempertimbangkan mengkonsumsi itu.

Berdasarkan laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Pemerintah Amerika Serikat (CDC), di negara itu hanya 12,2 persen orang dewasa Amerika yang mengkonsumsi buah sesuai dengan porsi yang direkomendasikan. Sedangkan orang dewasa yang mengkonsumsi sayuran sesuai dengan porsi hanya 9,3 persen. Selain itu, 36,6 persen orang dewasa makan makanan cepat saji dan 49 persen mengkonsumsi minuman dengan pemanis buatan.

Timko mengatakan media sosial dapat digunakan untuk menunjukkan gambar hidangan sayuran dan buah-buahan yang menarik untuk dikonsumsi. Hal ini mungkin akan mendorong seseorang makan lebih banyak makanan sehat. Namun kampanye semacam ini harus berjalan dengan baik, misalnya dengan memberi label makanan tertentu sebagai 'sehat' atau 'tidak sehat', sehingga dapat menyiratkan bahwa makanan itu 'baik' atau 'buruk'.

"Pemberian label makanan baik atau buruk dapat mempermalukan orang yang mengkonsumsi makanan yang dianggap 'tidak sehat' dan memuji mereka yang makan 'sehat'," kata Timko. Namun cara kampanye semacam itu, ujarnya, berpotensi meningkatkan risiko munculnya perilaku gangguan makan.

Sebab itu, diperlukan kehati-hatian ini karena sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kalangan remaja sangat mudah terpengaruh oleh pesan-pesan yang membuat mereka terlalu khawatir akan berat badan dan bentuk tubuh mereka. Hal ini, kata Timko, membuat seseorang malas makan atau justru makan secara berlebihan.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."