Hannah Al Rashid: Berani Bicara, Modal Lawan Kekerasan Seksual

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Hannah Al-Rashid Duta SDG untuk Kesetaraan Gender saat ditemui dalam diskusi Summit on Girls

Hannah Al-Rashid Duta SDG untuk Kesetaraan Gender saat ditemui dalam diskusi Summit on Girls "Getting Equal: Let's Invest in Girls!" yang digelar di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa 10 Desember 2019. TEMPO/Eka Wahyu Pramita

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Aktris Hannah Al Rashid tidak hanya serius membangun karier di dunia seni peran, ia juga berkomitmen memperjuangkan isu kesetaraan gender sebagai duta Perwakilan Bangsa-Bangsa atau PBB Indonesia lewat program Sustainable Development Goals (SDG). Perempuan berdarah Bugis dan Perancis ini kerap terlibat dalam aksi menyuarakan hak-hak perempuan, termasuk saat kampanye Women's March di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ditemui usai diskusi Summit on Girls Getting Equal: Let's Invest in Girls! yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa 10 Desember 2019, Hannah mengajak semua pihak baik laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender, termasuk memerangi kekerasan seksual.

Menurut Hannah, semua orang berpotensi jadi korban kekerasan, tanpa terkecuali dirinya. Ia kerap merasakan kekerasan secara verbal sampai stigma mengapa dirinya lebih memilih karier dibandingkan berkeluarga.

"Di mana saya sebagai perempuan sudah mengalami stigma, kalau saya dinilai lebih memilih karier daripada berkeluarga, hal itu juga masih dialami oleh perempuan lainnya," ucap pemeran Nadya dalam film Ratu Ilmu Hitam ini.

Hannah juga mengalami dalam beberapa tahun ini isu kekerasan masih sangat tabu buat dibicarakan. "Untuk menghapus tabu, tentu kita harus banyak bicara. Mereka sering DM ke saya banyak yang ngadu soal kekerasan yang mereka alami. Katanya takut mau cerita keluarga," ungkap perempuan kelahiran London ini.

Ketakutan seperti itu mestinya tidak beralasan, jika support system tidak menyalahkan korban. Tapi sebaliknya mendukung dengan cara mencari jalan keluar. "Kalau keluarga support, mereka lebih leluasa untuk cerita tanpa khawatir akan kena marah. Meski, ya, saya rasa berani bicara juga bukan hal yang mudah, ya," imbuh perempuan berusia 33 tahun ini.

Namun bagi Hannah, jika mau serius mengubah anggapan tabu dan mindset soal kekerasan terhadap perempuan, sama-sama kita harus berani bicara. Kita harus bisa menjelaskan seperti apa kesetaraan gender ke masyarakat.

"Kalau kita ngomongin soal pernikahan dini pada anak, ya kita pakai data yang menunjukkan apa dampak pernikahan dini bagi anak baik mental ataupun fisik," tutur ia.

Hannah mengajak para perempuan jangan hanya diam dan berani berbicara atas apa yang mereka alami. Sebab perubahan sekecil apapun menjadi berarti kalau kita mau speak up.

"Saya berharap perempuan muda atau remaja kelak tidak lagi mengalami apa yang saya pernah alami, tidak lagi mendengar bad stigma dan bisa membuktikan kalau kita punya pilihan atas apa yang kita putuskan," ucap Hannah.

Ia menegaskan pemerintah juga harus hadir dan menjadi solusi dalam masalah ini. "Kita butuh Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) segera disahkan, selama RUU PKS belum disahkan pemerintah dinilai telah gagal melindungi perempuan dan anak," tandas Hannah Al Rashid.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."