Putus Cinta Bikin Berat Badan Naik Cuma Mitos, Cek Faktanya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi wanita bersedih. shutterstock.com

Ilustrasi wanita bersedih. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Putus cinta kerap dijadikan salah satu penyebab berat badan naik. Dalam sebuah penelitian, putus cinta dikaitkan dengan peningkatan stres dan perubahan emosi. Orang dengan perasaan negatif cenderung makan lebih banyak dan memilih makanan tidak sehat.

Namun, dalam studi terbaru, yang diterbitkan dalam Journal of the Evolutionary Studies Consortium, peneliti mengumpulkan 581 orang untuk menjawab survei dalam jaringan tentang hubungan mereka di masa lalu, perpisahan, dan apakah mereka bertambah atau kehilangan berat badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,7 persen peserta tidak mengalami perubahan berat badan.

Para peneliti kemudian meminta 261 peserta baru untuk mengikuti survei yang berfokus pada hubungan jangka panjang dan berat badan mereka.

Peneliti juga melihat sikap peserta terhadap mantan pasangan mereka, siapa yang meminta putus, tingkat komitmen mereka, keinginan untuk makan, dan seberapa banyak mereka menikmati makanan.

Mayoritas peserta menjawab mereka pernah putus cinta, tetapi 65,13 persen tidak mengalami perubahan berat badan setelah hubungan jangka panjang mereka berakhir.

"Kami terkejut bahwa dalam kedua penelitian yang termasuk sampel komunitas besar, kami tidak menemukan bukti 'kummerspeck' (kelebihan lemak karena makan secara emosional)," kata Marissa Harrison, profesor psikologi di Penn State Harrisburg dalam keterangannya, seperti dilansir laman Medical Daily.

"Satu-satunya hal yang kami temukan adalah dalam studi kedua, wanita yang punya kecenderungan makan secara emosional memang bertambah berat badannya setelah putus hubungan. Tapi itu tidak biasa," ujar Harrison.

Ia menambahkan pria dan wanita modern masa kini mengalami lebih sedikit stres dan perubahan emosional karena memiliki akses yang lebih luas dan pekerjaan yang dapat mengalihkan perhatian mereka. Artinya ada hal lain yang menjadi fokus mereka daripada sekadar makanan.

Tetapi Harrison mencatat penelitian tersebut dapat membantu penyedia layanan kesehatan dalam mengembangkan pendekatan baru untuk orang-orang yang mengalami kondisi makan secara emosional atau berlebihan.

ANTARA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."