KDRT pada Perempuan Perkotaan Lebih Tinggi Ketimbang di Desa

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi KDRT/kekerasan domestik. Shutterstock

Ilustrasi KDRT/kekerasan domestik. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Survei Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2017 menunjukkan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT terhadap perempuan di perkotaan sebesar 36,3 persen. Sedangkan dalam survei yang sama, angka KDRT terhadap perempuan di pedesaan lebih kecil, yakni 29,8 persen.

Padahal perempuan yang tinggal di perkotaan umumnya lebih mandiri dari sisi ekonomi dan mengenyam pendidikan. Angka KDRT sebesar 36,3 persen tadi mencakup kekerasan fisik dan seksual. Artinya, perempuan yang bekerja dan berpendidikan tak serta-merta terbebas dari KDRT.

Baca: Femicide, Efek Panjang Bagi Perempuan Korban Prostitusi Online

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Khariroh Ali mengatakan pemicu KDRT terhadap perempuan di perkotaan antara lain karena budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat dan kehidupan individualistik.

"Budaya masyarakat Indonesia masih menganggap perempuan hanya pendamping dan membantu ekonomi keluarga, sekalipun dia berperan sebagai kepala keluarga," kata Khariroh Ali saat ditemui di @america Pacific Place, Jakarta Pusat, Rabu 23 Januari 2019. Sebab itu, perempuan yang mandiri secara ekonomi dan berpendidikan tidak menjadi jaminan dia terlepas dari KDRT.

Budaya patriarki yang selalu menomorsatukan laki-laki dalam hal apapun, menurut dia, menjadi cikal-bakal ketidaksetaraan gender dan berujung KDRT. Ketika perempuan berperan sebagai kepala keluarga, kerap terjadi toxic masculinities, kondisi ketidaksiapan laki-laki berganti peran dengan perempuan. "Mereka merasa malu hidup dari pekerjaan istri dan merasa tidak menjadi laki-laki lagi," kata Khariroh Ali.

Adapun faktor lingkungan sosial yang individualistik adalah keengganan masyarakat perkotaan mengintervensi ketika melihat perempuan mengalami KDRT. Kondisi ini berbeda dengan di pedesaan yang masih memiliki mekanisme penyelesaian masalah secara bersama-sama. Sikap individualistik pada masyarakat perkotaan didorong oleh tingkat persaingan yang tinggi, sehingga enggan berbagi masalah di ranah privat.

Baca juga: Survei: Masih Ada Perusahaan yang Belum Berikan Cuti Haid

Mengenai bentuk KDRT yang dialami perempuan di perkotaan, menurut Khariroh Ali, sebagian besar berupa kekerasan seksual dan psikis. Dari kasus yang diterima Komnas Perempuan, biasanya terjadi pemaksaan hubungan seksual saat perempuan sedang tidak siap dan cara-cara berhubungan intim yang tidak disukai perempuan. Contohnya ketika berhubungan seksual ketika menstruasi ataupun cara bersenggama dengan memakai alat yang menyakitkan bagi perempuan.

Untuk kekerasan psikis, Khariroh Ali mengatakan, kerap dipicu akibat kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender. Meski pertukaran peran sudah disepakati dalam rumah tangga, namun ketika peran itu berjalan tak selalu mendapatkan apresiasi positif dari suami ataupun kerabat yang tinggal dalam satu rumah. Perempuan sering kali menerima penindasan, sindiran, atau tekanan secara mental saat berada di rumah.

"Pertukaran peran di suatu rumah tangga adalah hal yang wajar, selama itu sudah disepakati," kata Khariroh Ali. Peran pencari nafkah yang dilekatkan kepada sosok laki-laki adalah wujud konstruksi sosial. Padahal, itu bukan sesuatu yang diberikan oleh Tuhan dan tak bisa ditukar, contohnya perempuan melahirkan, menyusui, dan menstruasi. "Karena itu, kurangnya pemahaman kesetaraan gender masih menjadi tugas kita bersama."

Artikel lainnya:

Hubungan Pertemanan sesama Perempuan Baik untuk Kesehatan Mental  

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."