Bebek Peking Asli Beijing di Restoran Jia Hotel Shangri - La

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Chef Yuan Chaoying membuat bebek panggang tanpa proses marinasi di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu 29 November 2017. TEMPO | Rini K

Chef Yuan Chaoying membuat bebek panggang tanpa proses marinasi di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu 29 November 2017. TEMPO | Rini K

IKLAN

TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian orang ragu ketika hendak menyantap bebek panggang atau bebek peking. Mereka khawatir hidangan itu berbau, daging bebek alot dikunyah, dan berlimpah minyak atau lemak. Namun semua kekhawatiran itu lenyap ketika saya melihat hasil olahan bebek dari Chef Yuan Chaoying di Restoran JIA, Hotel Shangri - La.

Bebek panggang olahan chef yang bekerja di Kerry Hotel, satu grup dengan Hotel Shangri - La, di Beijing, Cina ini harum, tingkat kematangan daging bebeknya pas, dan tak ada minyak apalagi lemak yang meleleh dari permukaan ataupun terselip di antara kulit dan dagingnya. Daging bebek kesat, lembut di mulut, dan kulit bebek tipis renyah.

Chef Yuan mengatakan, di negara asalnya, hanya ada satu peternakan yang menghasilkan bebek berkualitas untuk diolah menjadi bebek peking. Namanya peternakan bebek Jinxing. Di peternakan ini, bebek diberi pakan khusus setiap enam jam sekali dan wajib dikandangkan setelah diberi makan.

Bebek dengan bobot 2,5 kilogram menjadi pilihan tepat karena komposisi daging dan lemaknya pas. Setelah dibersihkan dan tinggal kulit, daging, serta tulang, berat bebek akan menyusut menjadi 1,5 kilogram. Menurut Chef Yuan, jika memilih bebek yang gemuk, maka lemaknya terlalu banyak dan akan berdampak pada hasil akhir bebek peking. Sedangkan bebek yang terlalu kurus, tentu dagingnya sedikit.

Setelah memilih, bebek kemudian dibersihkan dan hanya tertinggal kulit, lemak, daging, dan tulangnya. Bebek lalu digembungkan atau diisi dengan udara kemudian dibiarkan selama semalam. "Tak ada bumbu apapun dan tidak melalui proses marinasi," kata Chef Yuan.

Chef Yuan Chaoying membuat bebek panggang tanpa proses marinasi di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu 29 November 2017. TEMPO | Rini K

Keesokan harinya, bebek kemudian dipanggang selama 70 menit. Di negara asalnya, Chef Yuan memanggang bebek dengan teknik gantung dan menggunakan oven yang terbuat dari batu, ketimbang besi. Menurut dia, pemanggang dari batu lebih merata dalam menghantarkan panas.

Adapun kayu yang dipakai untuk memanggang adalah kayu jujube atau batang pohon kurma merah yang memiliki sifat tertentu ketika terkena api dan keharuman khas. "Saat dipanaskan, asap dari kayu jujube lebih bersih dan aromanya menyelimuti seluruh bebek," ujar Chef Yuan seraya menambahkan kalau tradisi ini sudah dilakukan lebih dari 1,5 abad lamanya.

Bebek peking yang masih mengepul tadi terhidang di meja. Warna kulitnya coklat kemerahan. Selagi panas, Chef Yuan dengan sigap memotong - motong daging bebek menjadi bagian - bagian kecil dengan ukuran panjang sekitar 5 sentimeter dan ketebalan 0,2 sentimeter, sehingga bisa langsung disantap.

Daging dan kulit bebek peking yang telah dipotong berbentuk seperti daun willow atau daun tanaman gandarusa, ditata di atas piring saji. Ketika disantap, daging bebek terasa lembut dikunyah. Adapun kulitnya, tipis dan renyah. Tak ada lemak atau minyak yang biasanya terselip di antara kulit dan daging bebek.

Menurut Chef Yuan, di sinilah kunci kenikmatan bebek peking. Aromanya harum, dagingnya empuk dengan cita rasa daging bebek asli, dan kulitnya renyah. Tak ada bau amis yang tercium. Rahasianya, menurut dia, lemak pada bebek sudah terserap sempurna ke dalam daging dan kulit selama proses pemanggangan.

Jika biasanya kita menggunakan saus hoisin sebagai penambah rasa bebek peking, Chef Yuan mengenalkan saus yang dia bawa langsung dari Beijing. Saus ini memiliki tekstur yang kental dengan warna hitam pekat. Komposisinya, pasta kacang, madu, bawang putih, dan gula karamel.

Selain langsung dimakan, Chef Yuan menghidangkan bebek peking dengan panekuk. Cara membuatnya, ambil selembar panekuk lalu isi dengan daging dan kulit bebek panggang, tambahkan daun bawang, kemudian siram dengan saus. Lipat panekuk, dan langsung disantap. Bagi pengunjung yang suka jeroan, Chef Yuan mengolahnya menjadi hidangan tumisan dengan bumbu pedas yang disebut Deep Fried Duck Heart with Chili Oil.

Bebek panggang disajikan dengan panekuk, daun bawang, dan saus bebek peking.

Selain olahan bebek peking, Chef Yuan juga mengetengahkan beberapa menu khas dari Beijing, diantaranya Four Treasure Hot and Sour Soup, Fresh Stewed Sliced Fish, Black Fungus in Glutinous Rice Wine, dan Beijing Style Chicken with Sweet Soya Bean Sauce.

Deep Fried Duck Heart with Chili Oil

Four Treasure Hot and Sour Soup berisi jamur, rebung, telur, dan kaldu. Aroma jahe kuat tercium. Kerongkongan dan perut terasa hangat ketika menyeruput kuahnya yang kental. Sup ini cocok diminum saat cuaca dingin. Adapun Beijing Style Chicken with Sweet Soya Bean Sauce merupakan daging ayang yang dipotong dadu kemudian disiram saus kedelai.

Menu Beijing Style Chicken with Sweet Soya Bean Sauce.

Ketika menyantap hidangan ini, pengunjung akan mendapat 'kejutan' karena ada kacang kenari di dalamnya yang turut berselimut saus sehingga tersamar dengan daging ayam. Saat kacang kenari masuk ke mulut, renyah dan gurih berpadu dengan gurih dan manisnya saus kedelai. Sementara hidangan Fresh Stewed Sliced Fish, Black Fungus in Glutinous Rice Wine terdiri dari potongan ikan, jamur kuping, dan kuah kental yang bercampur anggur beras. Aroma arak beras kuat tercium.

Fresh Stewed Sliced Fish, Black Fungus in Glutinous Rice Wine

Seraya bersantap, Chineese Operation Manager JIA Restaurant di Hotel Shangri - La, Inche Susilo menceritakan hidangan bebek peking sudah ada sejak 600 tahun lalu, atau pada masa dinasti South-Song. Saat itu, hidangan bebek peking pada awalnya bernama Zhiya. Memasuki Dinasti Ming, bebek peking menjadi menu utama di pengadilan kekaisaran. Daging bebek mengandung protein, lemak alami, karbohidrat, kalsium, zat besi dan vitamin B.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."