Psikolog Ungkap Gaya Parenting Ayah: Disiplin, Hangat, dan Aktivitas

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi ayah dan anak. Pexels/Annuskha Ahuja

Ilustrasi ayah dan anak. Pexels/Annuskha Ahuja

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Anak membutuhkan DHA dari ayah untuk menjadi pribadi yang inklusif, kepanjangan dari DHA ini adalah Disiplin, Hangat, dan Aktivitas sebagai gaya parenting. Hal ini disampaikan oleh Nathanael Sumampouw, Ketua Umum Asosiasi Psikolog Forensik (APSIFOR) dan Dosen Psikologi Universitas Indonesia dalam acara Perayaan Hari Ayah Nasional IBCWE 2023, di Amartha Village beberapa waktu lalu. 

"Sebagai seorang ayah, kita harus ikut terlibat dalam pengasuhan anak-anak. Tiga hal yang bisa diberikan adalah, D untuk disiplin berarti tetap harus memberi batasan-batasan untuk diterapkan pada anak-anak, apa yang kita suka dan tidak suka. H berarti kehangatan, di mana kita harus memberikan kehangatan pada anak, jangan sampai mereka lebih senang main handphone. Dan A untuk aktivitas, di mana kita perlu membuat aktivitas bersama," paparnya.

Pria yang akrab disapa Nael ini juga menjelaskan, orang tua sudah tidak lagi bisa memaksakan cara pengasuhan yang sama dengan apa yang orang tua alami kepada anak-anak mereka. "Karena, zaman berubah sehingga konteks juga berubah serta hal-hal yang dihadapi anak-anak kita saat ini juga berbeda," katanya.

Untuk itu, ada beberapa hal yang orang tua zaman now bisa lakukan antara lain, menjadi orang tua yang smart, dalam arti terus menerus membekali diri termasuk saling mengenali pasangan masing-masing sebelum menentukan cara pendekatan pengasuhan. Kedua, orang tua harus mampu menjadi pendengar bagi anaknya, karena tidak semua hal lebih diketahui oleh orang tua. Dan yang terpenting adalah, secara pribadi, harus memahami bahwa setiap orang, termasuk anak-anak kita, memiliki hak untuk berpartisipasi dan didengar.

Hal senada juga disampaikan oleh Kuswahyu Adhi, AVP of Finance Controller, Amartha. Menurutnya, orang tua harus mulai mendorong anak-anak membuat pilihannya sendiri seperti memilih baju, sepatu, dan sebagainya. "Penting bagi kita untuk memberdayakan anak agar dapat menghargai diri mereka sendiri, sehingga mereka juga akan dapat menghargai keberagaman dan nilai-nilai orang lain," ujar ayah tiga anak ini.

Internal Communication Lead, Danone Indonesia, Dewi Suryani menambahkan, penting bagi orang tua baik ayah dan ibu untuk melihat seseorang, termasuk anak kita, sebagai individu yang unik karena mereka memiliki nilai dan latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, setiap orang tua sebaiknya mengadaptasi metode pendidikan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari masing-masing anak. 

"Setiap anak itu unik, tidak ada satu pendekatan yang cocok untuk semua, jadi cara mengajarkan mereka bagaimana menjadi inklusif pun dapat berbeda untuk setiap anak," katanya. Dia menambahkan, mengajarkan kepada anak-anak kita untuk melibatkan semua orang adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman.

Mengulik Parenting Inklusif 

Parenting inklusif adalah sebuah pendekatan dalam mendidik anak yang mengakui dan menghargai perbedaan anak-anak. Dalam parenting inklusif, orangtua diharapkan untuk mengakui dan menghargai perbedaan anak-anak, serta memberikan dukungan yang diperlukan untuk membantu mereka meraih potensi penuh kemudian dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Anak usia dini adalah waktu yang ideal untuk mulai menanamkan pentingnya keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Membantu anak-anak mengenali perbedaan jenis kelamin, latar belakang budaya atau kemampuan fisik akan mendorong mereka menjadi warga negara yang lebih perhatian dan mengatasi ketidakadilan dan diskriminasi saat anak tumbuh dewasa.

Lebih lanjut, anak-anak adalah kumpulan bakat masa depan. Mereka akan bertemu orang-orang dari latar belakang budaya, dan kemampuan yang berbeda-beda. Mengajari anak-anak tentang keragaman dan inklusi sangat penting agar mereka tumbuh menjadi manusia yang toleran, menerima, dan berempati. Ketika tumbuh dewasa dan memasuki dunia kerja, mereka akan membawa sifat-sifat inklusif ini ke tempat kerja mereka.

Tempat kerja dengan budaya inklusi akan bersikap terbuka kepada orang-orang yang berbeda dan memandangnya sebagai aset bagi kesuksesan, kreativitas, dan inovasi organisasi. Selain itu, diharapkan akan memberi dampak pada partisipasi angkatan kerja Perempuan yang saat ini masih jauh di bawah laki-laki. Terlihat dari data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia hanya 53,41 persen pada tahun 2022. angka ini jauh di bawah laki-laki yang melebihi angka 80 persen dan lebih rendah dari rata-rata negara-negara ASEAN.

Pilihan Editor:  4 Alasan Pentingnya Cuti Ayah saat Bayi Baru Lahir

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."