Hanya 77 Persen Penggemar Coldplay yang Kembalikan Gelang, Tanda Krisis Etika?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Penonton menyaksikan konser grup band asal Inggris, Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu, 15 November 2023. Konser grup band asal Inggris yang masuk dalam rangkaian tur dunia

Penonton menyaksikan konser grup band asal Inggris, Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu, 15 November 2023. Konser grup band asal Inggris yang masuk dalam rangkaian tur dunia "Music of the Spheres Tour 2023" di Jakarta itu merupakan penampilan perdana mereka di Indonesia sejak band itu didirikan pada 1997. ANTARA/M Risyal Hidayat

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Konser Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta pada Rabu 15 November 2023 berhasil menarik banyak perhatian. Antusiasme masyarakat di konser itu sangat terlihat. Sayang, ada fakta yang sedikit mencoreng nama konser Coldplay di Indonesia, yaitu angka pengembalian gelang pintar simbol konser itu. Data menyebutkan hanya 77 persen penggemar yang mengembalikan gelang tersebut. Artinya, dari total 80.000 penonton ada 18.400 di antaranya tidak mengembalikan Xyloband. 

Angka pengembalian gelang di Indonesia, masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tahun pertama konser Coldplay yang mencapai 86 persen. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial tentang etika dan kejujuran di kalangan penonton Coldplay di Indonesia.

Psikolog Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan, Theresia Novi Poespita Candra menilai fakta itu membuat Indonesia terlihat sedang menghadapi krisis etika. Dosen dari Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan Indonesia tengah menghadapi krisis etika, dengan kejujuran menjadi salah satu korban utamanya.

Ia menganggap mengembalikan gelang atau Xyloband adalah bentuk etika, dan tidak melakukannya merupakan contoh nyata dari krisis etika yang tengah melanda masyarakat. Novi juga menyebut krisis etika di Indonesia sebenarnya tidak hanya tercermin pada pengembalian gelang konser, melainkan juga merembes ke dalam perilaku sehari-hari. Contoh sederhananya, perilaku membuang sampah sembarangan, tanpa memperhatikan etika kebersihan, juga merupakan contoh dari krisis etika yang tengah terjadi.

Menurut Novi, krisis etika salah satu faktornya adalah adanya era digital saat ini. Kecenderungan untuk merespons secara cepat dan tanpa berpikir panjang seringkali dipicu oleh teknologi, yang mempercepat segala sesuatu dalam hidup kita.

Sebagai contoh, dalam dunia digital, ketika seseorang tidak menyukai atau tidak sependapat, orang tersebut bisa langsung menghapus pertemanan, tanpa memedulikan etika dan dampaknya pada hubungan sosial. Penting untuk memahami bahwa cara berpikir instan ini dipicu oleh cara kerja teknologi, yang cenderung mengejar efektivitas dan efisiensi.

Namun, konsekuensi dari perilaku ini adalah kurangnya pertimbangan terhadap emosi orang lain dan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dalam konteks ini, Novi mengatakan tidak mengembalikan barang, seperti Xyloband, adalah contoh nyata dari tindakan yang tidak etis, karena tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak lain. Salah satu aspek yang perlu dicermati adalah peran teknologi dalam membentuk cara berpikir dan bertindak manusia.

Ketidakmampuan berdialog juga menjadi salah satu dampak negatif dari era digital ini. Dengan segala kemudahan dan kecepatan informasi yang diberikan teknologi, terjadi penurunan kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan dampak dari tindakan yang diambil.

Dari perspektif psikologi, Novi menjelaskan bahwa otak manusia memiliki bagian korteks prefrontal yang salah satunya memiliki tugas untuk membuat keputusan etik. Namun, penelitian menunjukkan di Indonesia, terutama di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, prefrontal cortex anak usia 15 tahun ke atas cenderung lemah karena kurangnya stimulasi melalui pendidikan.

Untuk mengatasi masalah etika, yang penting Pendidikan, menurut Novi, memiliki peran krusial dalam membentuk moral dan etika. Sayangnya, pendidikan di Indonesia, menurutnya, belum mampu membangun kesadaran diri dalam berperilaku.

Novi menyoroti kebijakan pendidikan yang lebih fokus pada standarisasi akademis, literasi, dan numerasi tanpa memberikan penekanan pada moral dan etika. Novi berpendapat perubahan paradigma pendidikan, dengan fokus pada kesadaran diri dan dialog, dapat menjadi langkah awal dalam mengatasi krisis etika.

Moral dan etika terbentuk melalui moral reasoning, yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang melibatkan dialog dan diskusi.

Dalam jurnal Bhinaka Tunggal Ika, volume 2, nomor 1, Mei 2015 karya Amrina Rosyada, menyebut pendekatan moral reasoning merupakan suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran melalui diskusi kelompok.

Namun, kata Novi, kebiasaan mendiskusikan hal-hal etis belum menjadi fokus utama pendidikan di Indonesia. Penting untuk mencermati bahwa dampak dari ketidakmampuan berdialog ini dapat terlihat dalam berbagai aspek masyarakat.

Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih memperhatikan pendidikan berbasis kesadaran diri dan dialog, sebagai langkah krusial dalam mengatasi krisis etika yang tengah melanda.

Merujuk pada dari teori social learning dari Albert Bandura dalam buku Belajar dan Pembelajaran karya Moh. Suardi (2018), menyebut manusia mengambil informasi dan memutuskan tingkah laku yang akan diadopsi berdasarkan lingkungan dan tingkah laku orang lain yang ada disekitarnya.

Dengan kata lain, orang terdekat, termasuk orang tua, bisa menjadi contoh bagi anak-anak mereka terkait dengan perilaku. Bila perilaku yang ditampilkan tidak baik, kondisi tersebut dapat turun-menurun dan menjadi tidak baik.

Tetapi, menurut Novi, kebiasaan tidak baik dari orang tua atau lingkungan sekitar bisa diputus rantainya dengan adanya peran dari pemerintah sebagai pembuat peradaban baru melalui pendidikan formal.

Di sekolah, pembelajaran social emotional learning (SEL), seperti yang dilakukan di negara-negara maju, dapat menjadi kunci untuk menciptakan perubahan positif. Jika anak-anak mendapatkan cara berpikir baru di sekolah, kebiasaan di rumah mereka dapat terhapus dengan sendirinya. Etika tidak hanya sebatas akademis, melainkan dapat ditanamkan melalui pendidikan yang melibatkan diskusi dan dialog.

Oleh karena itu, pendidikan formal dan peran guru menjadi krusial dalam memberikan pelatihan untuk belajar berdialog, bukan sekadar memberikan materi pembelajaran. Di negara-negara maju, pendidikan etika sudah menjadi pondasi di tingkat SD, sementara di tingkat SMP dan SMA, etika sudah menjadi bagian dari warga negara.

Pemerintah perlu mengubah orientasi pendidikan untuk membangun peradaban baru, bukan hanya mengejar ketertinggalan nilai numerasi dan literasi. Negara seperti Vietnam, kata Novi, bahkan sudah tidak lagi mengukur numerasi dan literasi sebagai prioritas utama.

Semua pihak memiliki peran masing-masing dalam mengatasi krisis etika ini. Memperbanyak ruang interaksi dan dialog menjadi hal yang sangat penting. Orang tua perlu memiliki keterampilan seperti mendengar dan berkonsekuensi, yang akan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan etika anak-anak.

Dalam merangkai kebijakan pendidikan, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk merombak sistem pendidikan yang lebih memperhatikan aspek moral dan etika. Harapannya, masyarakat Indonesia dapat melangkah menuju arah yang lebih etis, beradab dan bertanggung jawab. 

Pilihan editor: 6 Fakta Konser Coldplay, Dari Sapa Assalamualaikum Hingga Pantun Pinjam Seratus

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."