Advertisement
Advertisement
Advertisement

Alasan Perempuan Berpura-pura Orgasme, Bikin Happy Pasangan

foto-reporter

Reporter

google-image
Ilustrasi bercinta/Foto: Pexels

Ilustrasi bercinta/Foto: Pexels

Advertisement

CANTIKA.COM, Jakarta - Fenomena perempuan berpura-pura orgasme, yang sering disebut di kalangan akademis sebagai "pura-pura orgasme", ternyata cukup lazim. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa sekitar 59 persen perempuan pernah berpura-pura orgasme setidaknya sekali, dan statistik ini berlaku baik untuk generasi muda maupun tua.

Mengapa hal ini begitu umum? Apa saja penyebab mendasar dan konsekuensi jangka panjangnya? Dan apakah berpura-pura selalu merupakan hal yang baik?

Salah satu alasan utama banyak perempuan melaporkan berpura-pura orgasme terletak pada tekanan yang sangat besar untuk menyesuaikan diri dengan standar budaya yang tidak realistis mengenai kinerja seksual.

Dari mana tekanan ini berasal? Pengaruh yang signifikan datang dari meluasnya konsumsi pornografi yang sering kali menampilkan perempuan yang langsung bergairah, menikmati klimaks berkali-kali dengan mudah, dan memiliki tubuh kencang sempurna yang terpelintir dalam posisi seksual akrobatik.

Gagasan bahwa seks adalah sebuah pertunjukan, dengan tujuan utamanya adalah mencapai garis "finish", dapat membuat banyak perempuan merasa tidak mampu atau "hancur" ketika gagal mencapai tujuan tersebut. Bagi perempuan-perempuan ini, berpura-pura orgasme mencerminkan upaya untuk menutupi kekurangan yang mereka rasakan.

Efek ini diperkuat oleh fakta bahwa film porno sering kali menggambarkan adegan yang mengagungkan jenis seks yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang benar-benar dinikmati banyak perempuan.

Sementara beberapa perempuan menikmati aspek seks yang kasar, seperti dominasi atau bahkan dicekik, banyak yang tidak—namun, tekanan untuk tampil berani atau "tidak biasa" dapat mendorong mereka berpura-pura menikmati tindakan yang mereka rasa tidak nyaman atau tidak menyenangkan, semuanya atas nama penampilan.

Koneksi Emosional dan Menghindari Kekecewaan

Alasan umum lainnya mengapa perempuan berpura-pura orgasme adalah keinginan untuk melindungi perasaan pasangannya. Dalam budaya Barat, perempuan sering disosialisasikan untuk bersikap mengasuh dan mengutamakan emosi orang lain daripada emosi mereka sendiri. Akibatnya, banyak perempuan takut bahwa tanpa terlihat orgasme, pasangan mereka akan merasa ditolak atau kehilangan maskulinitas—dan bahwa kesejahteraan emosionalnya lebih penting daripada hak mereka sendiri untuk mendapatkan kenikmatan seksual.

Tekanan ini tidak hanya dirasakan satu pihak; pria juga dipengaruhi oleh penggambaran seksualitas yang tidak realistis di media. Banyak yang percaya bahwa "memberi wanita orgasme" adalah bukti utama kehebatan seksual atau maskulinitas mereka. Keyakinan ini dapat menimbulkan kecemasan , di mana "gagal" untuk "memberi" pasangan orgasme merupakan ancaman besar bagi harga diri mereka , yang kemudian membuat pasangan wanita mereka merasa tertekan untuk melindunginya.

Keinginan untuk melindungi pasangan dari perasaan-perasaan ini dengan berpura-pura orgasme juga mencerminkan mitos budaya basi bahwa seks hebat hanya dapat terjadi ketika kedua pasangan mencapai klimaks.

Ya, orgasme memang harus diprioritaskan, apalagi bagi perempuan heteroseksual yang tingkat orgasmenya jauh lebih rendah saat berhubungan seks dengan pasangan dibandingkan pria atau lesbian. Bukan berarti orgasme harus menjadi satu-satunya tujuan seks. Orgasme memang salah satu aspek yang mungkin dari pengalaman seksual yang memuaskan, tetapi kehadirannya tidak mendefinisikan seks yang hebat secara biner seperti yang diasumsikan banyak orang.

Tabu Komunikasi

Alasan umum lain mengapa perempuan melaporkan orgasme palsu dalam survei adalah karena tidak tahu cara meminta apa yang mereka inginkan saat berhubungan seks, atau sekadar ingin seks yang mungkin sudah tidak memuaskan itu segera berakhir. Ketika sesuatu terasa tidak menyenangkan, dan Anda tidak tahu cara mengubahnya, terkadang berpura-pura sudah "selesai" adalah solusi termudah.

Seringnya alasan berpura-pura ini mencerminkan paradoks budaya yang mengakar kuat: Meskipun seks muncul di mana-mana saat ini (tidak hanya di film porno, tetapi juga di acara Netflix, buku-buku populer, dan artikel majalah), masih terdapat banyak sekali tabu seputar pembahasan topik seks. Banyak wilayah di AS juga masih kekurangan pendidikan seks yang komprehensif , yang mengajarkan keterampilan komunikasi seksual dan mendorong dialog terbuka seputar seks bagi pasangan.

Akibatnya, banyak pasangan bahkan tidak tahu bagaimana cara membahas kehidupan seks mereka. Gagasan untuk berdiskusi secara teratur tentang fantasi seksual , hal-hal yang ingin mereka coba atau coba, serta memberi dan meminta masukan sebelum, selama, dan setelah berhubungan seks terasa sangat tidak nyaman bagi banyak orang, bahkan mereka yang telah bersama selama puluhan tahun.

Pada akhirnya, pasangan tetap bingung menentukan apa yang benar-benar terasa nikmat bagi pasangannya. Tanpa pengetahuan ini, orgasme yang nyata dan autentik menjadi lebih sulit dicapai.

Dampak pada Hubungan

Berpura-pura orgasme mungkin tampak seperti kebohongan yang tidak berbahaya, tetapi kenyataannya seiring waktu, hal itu dapat merusak hubungan.

Kerugiannya bukan hanya terletak pada ketidakjujuran tindakan itu sendiri. Kenyataannya, berpura-pura orgasme menghambat pembelajaran dan perkembangan sebagai pasangan. Berbagi, kepercayaan, dan ikatan emosional yang terjalin dari komunikasi yang terbuka dan jujur tentang keinginan dan hasrat Anda merupakan komponen penting dalam jalinan emosional suatu hubungan.

Berpura-pura orgasme menghentikan proses komunikasi tersebut. Hal itu juga mencegah seks menjadi lebih baik dan lebih menyenangkan. Dan mengetahui bahwa pasangan Anda telah berpura-pura selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun dapat terasa seperti pengkhianatan besar yang dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang pada hubungan seseorang.

Apakah Berpura-pura Itu Baik? Meskipun dalam kebanyakan kasus berpura-pura menyebabkan konsekuensi negatif, ada dua alasan berbeda mengapa wanita melaporkan berpura-pura orgasme yang berpotensi bermanfaat.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan melaporkan bahwa motivasi mereka berpura-pura orgasme adalah untuk membantu mereka menjadi lebih bergairah, mereka mengalami lebih banyak orgasme nyata secara keseluruhan. Hal ini konsisten dengan temuan bahwa seringkali, kognisi kita mengikuti perilaku kita, bukan sebaliknya. Artinya, kita baru memutuskan bagaimana perasaan kita tentang sesuatu setelah melihat reaksi perilaku kita sendiri terhadapnya.

Dengan kata lain, terkadang Anda benar-benar "berpura-pura sampai berhasil." Dan dalam kasus seperti itu, sedikit drama bisa sangat bermanfaat, asalkan seluruh pengalaman seksual tidak menjadi terlalu performatif.

Berpura-pura juga bisa menjadi hal yang tidak berbahaya dalam konteks saat seseorang mencoba untuk segera mengakhiri hubungan seks dengan seseorang yang tidak ingin dilanjutkan hubungannya.

Setiap orang seharusnya bisa menolak pengalaman seksual apa pun yang tidak lagi mereka inginkan. Namun, bagi seseorang yang sangat ingin menghindari kecanggungan dan tidak berniat membangun hubungan yang langgeng, berpura-pura orgasme adalah pilihan yang lebih baik daripada menderita seks yang mengecewakan dalam diam.

Memahami alasan budaya, relasional, dan pribadi di balik mengapa perempuan berpura-pura orgasme membuka pintu menuju perubahan yang berarti.

Dalam situasi tertentu, berpura-pura mungkin bermanfaat, baik sebagai cara praktis untuk mengakhiri hubungan seks yang mengecewakan dengan pasangan kasual maupun untuk membantu diri Anda lebih bergairah. Namun, dalam konteks menciptakan keintiman seksual yang benar-benar memuaskan dalam hubungan jangka panjang, berpura-pura dapat perlahan mengikis keaslian dan kepercayaan.

Dengan mengakui dampak narasi seksual yang menyimpang—narasi yang mengatur bagaimana tubuh “seharusnya” berfungsi atau aktivitas apa yang “seharusnya” dinikmati—kita dapat membebaskan diri dari rasa malu yang muncul karena tidak memenuhi harapan-harapan tersebut.

Alih-alih berpura-pura orgasme, pasangan sebaiknya fokus meningkatkan kemampuan komunikasi mereka untuk menciptakan lebih banyak pengalaman seksual di mana orgasme yang sesungguhnya lebih mungkin terjadi. Kuncinya adalah membuat komitmen yang tulus untuk menghormati hak kita atas kenikmatan, untuk berbicara terbuka tentang hasrat kita, dan untuk mengekspresikan rasa ingin tahu seksual bawaan kita.

Pilihan Editor: Tiga Tanda Perempuan Tertarik Pada Seseorang, Pahami Bukan dari Kata-katanya

PSYCHOLOGY TODAY

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika

Advertisement

Recommended Article

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."
Advertisement