Berutang Bukan Lagi dengan Alasan Darurat, Namun untuk Biayai Gaya Hidup

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi foto liburan. Freepik.com

Ilustrasi foto liburan. Freepik.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Berutang semakin mudah dilakukan. Berutang bukan lagi karena keterdesakan atau alasan darurat. Anak-anak muda terlilit utang, ditengarai, motif mereka adalah membeli pengalaman dan membiayai gaya hidup.

Sebuah survei dari platform keuangan pribadi daring, Credit Karma, beberapa waktu lalu, menemukan hampir 40 persen milenial menghabiskan uang yang tidak dimilikinya dan terlilit utang demi gaya hidup dan hubungan sosial.

Rata-rata pengeluaran tersebut dihabiskan demi sebuah pengalaman, seperti berlibur, pesta, kehidupan malam, hingga pernikahan. Bahkan, milenial rela berutang demi makanan, pakaian, alat elektronik, perhiasan, dan mobil.

Antropolog ekonomi asal Amerika Serikat, David Rolfe Graeber, mengemukakan bahwa dengan bergulirnya sejarah dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, utang berkembang melampaui urusan ekonomi, finansial, negara, dan pasar belaka. Padahal, mulanya utang hanyalah bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter, dan aktivitas sosial-ekonomi kemanusiaan sehari-hari.

Berutang tanpa alasan kedaruratan bisa menjadi awal petaka, apalagi bila itu hanya digunakan untuk sekadar membiayai gaya hidup dan gengsi demi bisa “seperti orang-orang”. Bagaimana jika teman-teman atau orang-orang yang menjadi kiblat gaya hidup itu mereka yang telah mencapai kemerdekaan finansial, sedangkan penirunya belum berpenghasilan? Apa tidak akan babak belur?

Tak jauh berbeda pada masyarakat urban, warga perkampungan pun banyak terlilit utang akibat ingin “dipandang orang”. Seperti di perdesaan di wilayah Bogor, Jawa Barat, ada tradisi pesta pernikahan yang seolah mengharuskan disertainya panggung hiburan musik dangdut dan rangkaian petasan untuk menyambut kedatangan rombongan besan. Jika dihitung secara kasar, rangkaian petasan berdurasi sekitar 15 menit itu membakar uang minimal Rp 1 jutaan, sedangkan panggung dangdut berbiaya belasan juta.

Bukan hanya orang berada yang menggelar pesta meriah, tetapi para warga penerima bansos pun memaksakan diri menikahkan anak-anaknya dengan “standar pesta” semacam itu. Akibatnya, daerah itu terkenal dengan warga banyak utang. Sementara tingkat perceraian di wilayah tersebut cukup tinggi, sehingga ada seloroh, “Utangnya saja belum lunas, pengantinnya sudah cerai”.

Menggelar pesta pernikahan di daerah ini tak ubahnya seperti judi. Tuan rumah membiayai pesta (termasuk panggung dangdut) dengan uang pinjaman, lalu berharap tertutupi dari sumbangan amplop para tamu yang datang. Bukan rumor, namun sudah menjadi rahasia umum. Jumlah sumbangan dalam amplop yang diberikan tamu, kemudian dianggap sebagai utang, yang akan dikembalikan ketika pemberi sumbangan kelak menggelar pesta juga. Begitu bergulir seterusnya.

Pilihan Editor: Utang Dalam Segala Rupa Menghantui Gen Z dan Milenial

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."