Ada 12 Provinsi Prioritas Penurunan Stunting, dari Aceh hingga Kalimantan Barat

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi stunting. Foto : UNICEF

Ilustrasi stunting. Foto : UNICEF

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Stunting, kondisi gagal tumbuh kembang anak, salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama di Indonesia. Untuk menurunkan angka kasusnya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai salah satu stakeholders terus melakukan intervensi untuk menurunkan prevalensi stunting dengan sasaran 12 provinsi ditetapkan sebagai prioritas.

Saat ini, tercatat sebanyak 7 provinsi yang memiliki tingkat prevalensi stunting di atas 30 persen yaitu Nusa Tenggara Timur, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Selatan.

"Ini adalah wilayah-wilayah yang perlu diinkubasi agar angkanya turun, sehingga dampaknya secara nasional juga turun," kata Deputi Advokasi, Penggerakan, dan Informasi BKKBN Sukaryo Teguh Santoso dalam satu diskusi secara daring, Senin, 26 Juni 2023.

Lebih lanjut, Sukaryo menguraikan, selain tujuh provinsi itu, ada lima wilayah yang memiliki populasi tinggi, baik populasi balita maupun penduduk yang menjadi fokus untuk penurunan stunting, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Utara.

"Wilayah ini populasinya cukup tinggi. Tidak hanya persentase, namun angka absolutnya juga tinggi. Jadi, ke-12 wilayah inilah yang menjadi kesepakatan bersama diprioritaskan untuk percepatan penurunan stunting," imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, di menjelaskan bahwa beberapa tahun belakangan ini koordinasi yang terbangun antara kementerian dan lembaga terbilang sangat baik. Permasalahan stunting, katanya, telah menjadi prioritas yang harus disukseskan karena berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia.

"Kami juga melakukan evaluasi, paling tidak setahun dua kali dan memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah yang memiliki praktik baik, misalnya Kota Surabaya yang mendapatkan penghargaan dari wakil presiden," tegasnya.

Ia menambahkan, selama ini pihaknya juga memiliki infrastruktur di lapangan berupa tim pendamping keluarga sebanyak 600 ribu personel berbasis relawan yang terbagi atas 200 ribu tim meliputi bidan, tim PKK, dan kader KB.

Tugas mereka, kata Sukaryo, adalah memberikan pendampingan dalam konteks penyuluhan, memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan pelayanan, dan memantau, serta memastikan program bantuan Pemerintah Pusat dan Daerah sampai dengan baik.

"Selain itu, tiga komponen ini juga melakukan update data keluarga-keluarga yang terdeteksi kecenderungan stunting. Kekuatan ini luar biasa. Kami hanya melatih, dukungan diberikan oleh Pemerintah Daerah, dan fungsi mereka sangat dekat dengan keluarga," terangnya.

Mengenai penyelesaian permasalahan keterlambatan pertumbuhan pada anak-anak di setiap daerah yang memiliki perbedaan karakter, Sukaryo menilai bahwa secara umum intervensi tetap dilakukan melalui dua pendekatan yaitu spesifik dan sensitif.

Pendekatan spesifik berkaitan dengan pemberian makanan tambahan pada anak-anak, mencegah anak-anak menjadi sakit, dan sebagainya. Sedangkan pendekatan sensitif, berkaitan dengan faktor-faktor yang ada di lingkungan setempat, misalnya kemiskinan, sanitasi yang baik, budaya setempat, dan sebagainya.

"Misalnya terkait pendekatan spesifik, bisa jadi tidak harus menggunakan makanan-makanan yang mahal karena di daerah juga tumbuh kembang makanan khas daerah. Contohnya daun kelor yang punya nilai gizi tinggi. Ada wilayah yang bukan kepulauan atau pantai, tentu tidak dipaksakan dengan ikan laut. Di dalam intervensi skala lokal, maka potensi lokal memiliki peranan yang sangat besar," tutupnya.

Pilihan Editor: Cerita Endah Sabandiah jadi Technical Asisstant Satgas Stunting Kabupaten Cianjur
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika
Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."