Ahli Sarankan Perubahan Uji Kanker Paru di Indonesia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi Kanker paru-paru. Shutterstock

Ilustrasi Kanker paru-paru. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Diagnosa dan pengobatan yang paling umum untuk kanker paru di Indonesia dan Asia membutuhkan perubahan mendesak. Harapannya perubahan cara diagnosa dan pengobatan itu lebih memperhitungkan karakteristik pasien yang unik pada wilayah tersebut. Profesor, Pusat Aliansi Penelitian Global dan Bedah Toraks, Rumah Sakit Kindai, Jepang, Tetsuya Mitsudomi, mengatakan konsensus yang baru dari para ahli yang telah dirilis hari ini dan diterbitkan dalam Journal of Thoracic Oncology. "Konsensus ahli yang dirilis hari ini menyerukan pengujian biomarker rutin untuk pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di seluruh negara Asia," katanya dalam keterangan pers yang diterima Cantika pada 26 Desember 2022. 

Pengujian model ini diharapkan sebagai langkah yang diperlukan untuk menghilangkan kanker paru-paru sebagai penyebab kematian. "Pengujian biomarker untuk semua pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di Asia dapat membantu meningkatkan diagnosa dan mengurangi prosedur yang tidak dibutuhkan dan memastikan pilihan pengobatan yang paling bermanfaat untuk setiap pasien, dan pada akhirnya memberikan hasil kesehatan terbaik," lanjut Tetsuya.

Konsensus tersebut merupakan hasil diskusi ekstensif antar para ahli dari beberapa negara Asia, didukung oleh Aliansi Ambisi Paru Paru (LAA). LAA adalah kolaborasi nirlaba yang didirikan oleh AstraZeneca, Koalisi Global Kanker Paru Paru (GLCC), Guardant Health, dan Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru (IASLC).

Sekitar 60 persen dari kasus kanker paru-paru di dunia terjadi di Asia dengan lebih dari 34 ribu kasus yang didiagnosis di Indonesia setiap tahun. Namun pedoman diagnosa dan pengobatan di Asia saat ini mengikuti model yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, di mana karakteristik pasien dan penyakitnya berbeda.

Misalnya, pada satu gen tertentu, yang disebut reseptor faktor pertumbuhan epidermis (EGFR), mutasinya lebih tinggi pada pasien Asia (lebih dari 50 persen pasien NSCLC). Mengidentifikasi status EGFR pasien dengan NSCLC dapat membantu dokter dalam menentukan perawatan yang paling tepat untuk pasien mereka, sehingga menjadikan mutasi EGFR sebagai 'biomarker' yang ideal untuk memandu keputusan pengobatan. Namun, sekitar dua pertiga tenaga kesehatan yang disurvei di wilayah tersebut menyatakan bahwa, kurang dari setengah pasien kanker paru-paru mereka yang telah menjalani pengujian untuk biomarker.

Merokok masih menjadi faktor risiko utama kanker paru-paru pada pasien dengan usia muda. Namun Wanita  terutama wanita, yang mengidap kanker paru-paru memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk tidak pernah merokok pada populasi Asia, dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh ia. Kanker paru-paru pada non-perokok lebih mungkin menunjukkan mutasi EGFR.10,11

Meskipun tingkat kematian akibat kanker paru-paru telah stabil atau menurun di negara-negara Barat tapi di Asia mengalami peningkatan selama dua dekade terakhir. Para ahli percaya bahwa tingkat kematian akibat kanker yang tinggi di negara - negara Asia berpenghasilan rendah dan menengah dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk pasien tidak selalu memiliki akses pengobatan yang tepat untuk mereka.

Baca: Gejala Kanker Paru Sering Tak Nampak, Segera Deteksi Dini

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."