Tidak Bisa Berhenti Konsumsi Makanan Manis, Ini Alasan Gula Bisa Bikin Kecanduan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi makanan manis seperti cupcakes. Unsplash.com/Viktor Forgacs

Ilustrasi makanan manis seperti cupcakes. Unsplash.com/Viktor Forgacs

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Libur Natal dan Tahun Baru identik dengan momen penuh kehangatan bersama keluarga. Momen ini juga sering kali dilengkapi dengan berbagai makanan manis yang menggugah selera. Sayangnya, terkadang kita sulit untuk menahan diri dalam mengonsumsi makanan dan minuman manis tersebut. Wacana ‘mulai pola hidup sehat di tahun baru’ tak jarang menjadi dorongan untuk terus makan sepuasnya hingga penghujung tahun tanpa memerhatikan kandungan gula tambahan yang terkandung. Lantas, bagaimana cara untuk mulai membatasi diri dalam mengonsumsi gula harian? Simak bahasannya di artikel ini.

Gula merupakan karbohidrat sederhana yang dapat diubah menjadi sumber energi bagi tubuh. Gula dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu gula alami/intrinsik dan gula tambahan. Gula alami dapat diperoleh dari makanan dan minuman yang secara alami sudah mengandung gula, misalnya susu dan buah-buahan. Sementara gula tambahan biasanya didapatkan dari makanan dan minuman yang dalam proses pengolahannya ditambahkan gula. "Tidak sulit untuk menemukan makanan dan minuman dengan gula tambahan ini, mulai dari permen, kue, biskuit, susu dengan berbagai rasa, hingga makanan dan minuman kemasan," kata Dokter Spesialis Gizi Klinik RS Pondok Indah - Pondok Indah Juwalita Surapsari
dalam keterangan pers yang diterima Cantika pada 23 Desember 2022.

Mengonsumsi makanan atau minuman manis dipercaya dapat membuat perasaan menjadi lebih baik. Saat mengonsumsi gula, otak akan melepaskan serotonin dan dopamin yang merupakan neurotransmitter yang berperan dalam brain reward system sehingga suasana hati menjadi bahagia dan mood menjadi lebih baik. Sayangnya, selain memberikan perasaan bahagia, gula juga berpotensi menyebabkan kecanduan. Ketika perasaan bahagia mereda atau hilang, otak cenderung menginginkan perasaan itu kembali. Karenanya, ketika kadar glukosa mencapai tingkat yang rendah, ada keinginan untuk kembali mengonsumsi (craving) makanan atau minuman manis. Hal ini yang memberikan dampak kecanduan gula pada seseorang.

Risiko konsumsi gula berlebih

Gula yang dikonsumsi secara tidak terukur dapat membahayakan kesehatan. Selain memberikan efek kecanduan, konsumsi gula berlebih juga dapat menimbulkan sejumlah penyakit, antara lain:

1. Karies gigi

Penyakit paling ringan yang mungkin terjadi akibat konsumsi gula berlebih adalah munculnya karies gigi. Bakteri di dalam mulut akan mengubah kandungan gula dari makanan atau minuman yang Anda konsumsi menjadi asam. Apabila Anda tidak rajin menyikat gigi, timbunan asam tersebut dapat menjadi sarang berkembangnya kuman dan berubah menjadi karies gigi yang menyebabkan gigi berlubang.

2. Obesitas

Asupan gula tambahan yang tinggi akan menyebabkan asupan energi menjadi berlebih sehingga meningkatkan risiko Anda mengalami penambahan berat badan hingga obesitas.

3. Perlemakan hati

Perlemakan hati disebabkan oleh asupan gula tambahan jenis fruktosa yang berlebih. Ketika asupan fruktosa berlebih, maka hati akan mengubahnya menjadi lemak. Lemak tersebut akan membebani hati dan menyebabkan perlemakan hati.

4. Diabetes melitus

Konsumsi gula tambahan juga dapat meningkatkan risiko resistensi insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas untuk mengatur kadar gula darah. Resistensi insulin ini akan menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat yang akhirnya memicu timbulnya diabetes melitus. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi lainnya seperti penyakit pembuluh darah di jantung dan perifer.

Baca: Mengenal Diet Rendah Gula, Berikut Jenis Makanan yang Direkomendasikan dan Dihindari

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."