Ketahui PTSD Seperti yang Dialami Mila Kunis dalam Film Luckiest Girl Alive

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Selebriti Mila Kunis menghadiri ajang People Choice Awards di Santa Monica, California, AS, 11 November 2018. REUTERS/Danny Molosho

Selebriti Mila Kunis menghadiri ajang People Choice Awards di Santa Monica, California, AS, 11 November 2018. REUTERS/Danny Molosho

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Bagaimana perasaanmu jika karier mentereng, kehidupan mudah-mudah saja, dan punya calon suami yang sempurna dambaan banyak perempuan? Bahagiakah? Bisa ya, bisa tidak. 

Awalnya kehidupan Tiffani FaNelli yang diperankan dengan ciamik oleh Mila Kunis dalam film Luckiest Girl Alive ini sangat bahagia. Bayangkan satu langkah lagi ia mendapat kesempatan bekerja di majalah bergengsi dan menikah dengan the right man, Luke (Finn Wittrock).

Namun, hanya dalam waktu singkat manakala tawaran film dokumentasi datang seolah berhasil menghancurkan pagar yang ia bangun tinggi-tinggi bahkan disertai kawat berduri. Ia sungguh tak ingin mengingat masa lalu, walau di satu sisi ia benar-benar tak pernah lupa dengan luka masa lalunya. 

Tiap kali ia bercermin teringat bayang masa lalu, tiap kali memegang pisau ia seperti sedang menghunuskan pisau hingga tetesan darah mengalir, tentu saja di alam imajinasi yang ia bangun dari serpih demi serpih luka yang meninggalkan post traumatic stress disorder (PTSD). 

Pisau itu jugalah yang dimanifestaikan Tiffani saat menusuk telapak tangan tunangannya -dalam imajinasi - lantaran status sosial Luke yang berada di strata elit terus-menerus mengingatkannya pada pelaku, dan pikiran batinnya yang tajam.

Tiffani bahkan terus-menerus mengafirmasi dirinya kalau ingin move on dari luka masa lalu, dengan mengganti namanya menjadi Ani Harrison. Nyatanya, ia tak pernah bisa benar-benar lepas, kejadian di taksi saat ia teringat salah satu fragmen masa lalu membuatnya anxiety parah yang membuat sang tunangan turun tangan. 

Sampai akhirnya secara sadar Tiffani menerima proyek dokumenter dengan syarat tidak ingin bertemu Dean, salah satu pelaku yang membuat hidupnya berubah. Dalam sorotan kamera, ia mulai menceritakan ulang kejadian menyakitkan yang pernah ia alami, yang  dulu tak pernah berani ia ungkapkan. 

Kebenciannya mendarah daging, hingga pelaku cacat sekali pun ia tak sanggup melupakan. Sampai tawaran dari salah satu guru untuk jujur pada ibunya pun tak berani ia lakukan, ia takut sang ibu (Connie Britton) membencinya. Posisi sebagai anak penerima beasiswa di sekolah terpandang membuatnya urung, ia merasa lemah dan tak bisa berbuat apa-apa selain mengubur traumanya dalam-dalam. 

"Aku ingin tidak membencinya, tapi tak bisa." 

Sampai di satu momen akhirnya ia punya keberanian bertemu dengan pelaku dan membuat si pelaku mengakui dosanya, ia rekam sebagai bukti kalau ia adalah korban. Ya, dia menolak disebut penyintas, ia adalah korban. 

Film ini tidak hanya mendramatisasi sebuah penembakan di sekolah dengan latar belakang bullying, tetapi juga berani menggunakan salah satu adegan sebagai latar belakang dan juga menghadirkan trauma pemerkosaan. 

Ya, trauma itu nyata, trauma perlu mendapatkan diagnosa dari profesional, bukan mengaku trauma agar bisa mendapatkan penanganan yang sesuai. Seperti Tiffani yang memilih bisa menyembunyikan traumanya, alih-alih sembuh ternyata sama sekali belum. Luka itulah yang menyadarkan dia bahwa jalan keluar dari trauma itu bukanlah berpura-pura baik-baik saja. 

Sampai pada akhirnya ia merasa tidak bisa hidup dalam kamuflase atas nama bahgaia dan memutuskan speak up di media impiannya New York Times, mengabarkan kepada dunia kalau ia adalah korban. Membuat banyak perempuan pun terpicu untuk lebih berani menghadapi trauma mereka. 

Apakah perjuangan Tiffani selesai? Sahabat Cantika bisa menyaksikan sendiri kelanjutan Luckiest Girl Alive di platform streaming Netflix dan disarankan dalam suasana hati yang sedang baik-baik saja. 

Tentang post traumatic stress disorder atau PTSD 

Menurut American Psychological Association, PTSD ialah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan seseorang. PTSD membuat pengidapnya tak bisa melupakan dan sekanan-akan terus mengulang kejadian yang pernah dialami sehingga tertekan secara emosional. 

Belajar dari kasus yang dialami Tiffani, apa yang bisa kita lakukan jia ada teman atau orang terdekat kita sedang mengalami hal serupa. Berikut langkah yang bisa kita lakukan, seperti dikutip dari Mayo Clinic: 

1. Pelajari tentang PTSD 

Ini dapat membantu kamu secara lengkap dalam memahami apa orang-orang terdekat kamu rasakan, bagaimana mereka hidup dengan trauma. 

2. Beri waktu

Jika mereka menolak bantuan kamu, berikan ruang dan beri tahu orang yang kamu cintai bahwa kamu ada saat dia siap menerima bantuan dari kamu

3. Tawarkan untuk menemani berobat

Jika orang yang kamu cintai bersedia, menghadiri janji temu konsultasi dapat membantu kamu memahami dan tentu saja membantu perawatan.

3. Bersedia untuk mendengarkan

Biarkan orang yang kamu cintai tahu bahwa kamu bersedia mendengarkan, tetapi kamu juga akan mengerti jika dia tidak ingin berbicara. Cobalah untuk tidak memaksa mereka untuk berbicara tentang trauma sampai benar-benar siap. 

4. Tetap punya kegiatan

Rencanakan peluang untuk kegiatan bersama keluarga dan teman. Rayakan acara dengan baik tanpa menyinggung. 

5. Jadikan kesehatan diri sendiri sebagai prioritas 

Jaga kesehatanmu dengan makan sehat, aktif secara fisik dan istirahat yang cukup. Luangkan waktu sendirian atau bersama teman-teman, lakukan aktivitas yang membantu kamu mengisi energi ulang. 

6. Cari bantuan jika kamu membutuhkan 

Jika kamu mengalami kesulitan mengatasi khususnya secara mental, bicarakan dengan dokter yang menangangi. Medis mungkin akan merujuk kamu ke terapis yang dapat mengatasi stres kamu. 

Baca: Ashton Kutcher Kenang Momen Pertama Kali Bilang Cinta ke Istrinya, Mila Kunis

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."