RUU KIA Menurunkan Daya Saing Perempuan di Dunia Kerja, Benarkah?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi menyusui. SpineUniverse

Ilustrasi menyusui. SpineUniverse

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menilai Rancangan Undang-undang Kesehatan Ibu dan Anak (RUU KIA) akan berdampak pada peran perempuan di dunia kerja, misalnya keengganan dunia usaha untuk merekrut karyawan perempuan. Pasalnya, persoalan cuti selama enam bulan ini bukan hanya berdampak pada biaya yang dikeluarkan perusahaan melainkan juga pada daya saing perempuan pekerja. 

Perempuan di dunia kerja sudah banyak memiliki tantangan, salah satunya norma yang menyatakan bahwa kodrat perempuan itu adalah mengurus keluarga. Dengan adanya RUU KIA ini, akan semakin mengarah pada domestikasi perempuan,” tegas Maya Juwita, Direktur Eksekutif IBCWE.

Maya menambahkan, RUU KIA ini perlu dikaji lebih dalam lagi karena beberapa pasal berpotensi mengembalikan perempuan ke ranah domestik sementara kampanye mengenai pembagian tugas domestik yang setara antara perempuan dan laki-laki tengah gencar dilakukan di Indonesia.

IBCWE yang mendukung pemberdayaan perempuan secara ekonomi memiliki beberapa tanggapan mengenai RUU KIA tersebut. Sebelumnya, IBCWE tentu mengapresiasi usulan perpanjangan cuti melahirkan dan cuti ayah/pendampingan merupakan bentuk atensi Negara terhadap hak maternitas warga negara.

Meski begitu, terkait cuti melahirkan selama enam bulan, IBCWE memandang perlu adanya kajian yang komprehensif terkait penambahan waktu cuti melahirkan, dikaitkan dengan produktivitas pekerja perempuan dan dampaknya terhadap keuangan perusahaan. Selain itu, perlu adanya diskusi dengan pelaku usaha termasuk Usaha Mikro & Kecil terkait realita bisnis mengenai mekanisme implementasi dan implikasinya termasuk (namun tidak terbatas pada) pembayaran upah, keberlangsungan bisnis perusahaan karena harus mengisi kekosongan, dan persiapan kembali ibu bekerja pada saat selesai cuti. 

Ilustrasi menyusui. MomJunction

Menurut dunia usaha, selain cuti enam bulan masih ada pilihan lain yang dirasa bisa menguntungkan semua pihak baik dari pekerja perempuan dan perusahaan. Misalnya, sistem kerja fleksibel yang bisa diambil setelah tiga bulan cuti.

"Kami sudah menerapkan cuti melahirkan selama 6 bulan dan karyawan mengapresiasi inisiatif ini. Tetapi yang lebih diapresiasi lagi adalah pemberian support yang lebih holistik, seperti sistem kerja yang fleksibel, (serta) dukungan dari rekan kerja,” ungkap Melissa Sim, Inclusion and Diversity Manager, PT HM Sampoerna, Tbk.

Sedangkan tanggapan tentang cuti pendampingan/ayah, IBCWE memandang adanya kebutuhan edukasi bagi calon ayah terkait peran dan tugasnya saat melaksanakan cuti ayah/pendampingan sehingga cuti tersebut dapat tepat sasaran. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah juga menambahkan, adanya kebutuhan kejelasan cuti pendampingan suami juga berbayar utuh sehingga suami tidak kuatir merisikokan penghasilan keluarga ketika mengambil cuti. 

Dept Head of Human Resources Management, PT Pan Brothers, Tbk, Denny Samboh meminta DPR untuk mengkaji ulang RUU KIA ini secara lebih menyeluruh. “Kalaupun RUU ini mau diresmikan sebagai undang-undang kajilah semua secara holistik dan bicara dengan data, mau bicara tentang stunting bicara dengan data. Kalau datanya tidak bicara seperti itu, jangan dipaksakan. Masih ada RUU lain yang sudah berjalan dengan baik, mari kita tingkatkan pengawasan,” ujarnya.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 30 Juni 2022. Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut RUU KIA akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul.

Dalam RUU KIA ini, salah satu yang didorong DPR adalah cuti melahirkan enam bulan bagi ibu pekerja. DPR juga menginisiasi cuti ayah selama maksimal 40 hari untuk mendampingi istrinya yang baru saja melahirkan. Selain itu, ada juga aturan mengenai penyediaan fasilitas tempat penitipan anak (daycare) di fasilitas umum dan tempat bekerja. RUU KIA pun menjadi salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan stunting di Indonesia.

“Lewat RUU ini, kita ingin memastikan setiap hak ibu dan anak dapat terpenuhi. Termasuk hak pelayanan kesehatan, hak mendapatkan fasilitas khusus dan sarana prasarana di fasilitas umum, hingga kepastian bagi ibu tetap dipekerjakan usai melahirkan,” ujar Ketua DPR Puan Maharani. 

Baca: Kuatkan Ekonomi Lokal Melalui Perempuan Perajin Tenun Batak

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."