Menyingkap 5 Fakta Fast Fashion yang Berdampak pada Krisis Iklim

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Sustainable clothing atau busana berkelanjutan adalah sebuah gerakan yang mendorong perubahan pada produk fashion dan sistemnya menuju integritas ekologi dan keadilan sosial yang lebih besar. Sumber foto: Canva

Sustainable clothing atau busana berkelanjutan adalah sebuah gerakan yang mendorong perubahan pada produk fashion dan sistemnya menuju integritas ekologi dan keadilan sosial yang lebih besar. Sumber foto: Canva

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan Dewi Rizki dan Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022 Dinda Ayudita membagikan sejumlah fakta menarik mengenai limbah fashion di balik produksi dan konsumsi industri fast fashion.

Merujuk pada UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019, fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan. Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fashion.

Berikut lima fakta yang perlu digarisbawahi dan diketahui mengenai limbah fashion, terutama bagi pengguna yang ingin menerapkan "diet" baju dan produk fashion lain, dikutip melalui keterangan resmi pada Sabtu, 9 April 2022.

Fast fashion punya andil besar

"Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut," ujar Dewi.

Dahulu rata-rata merek merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada merek global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.

Memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda sendiri selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting, misalnya blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun.

Berbagai rupa limbah fashion

Model berpose dalam balutan gaun dari bahan daur ulang saat fashion show di Phnom Penh, Kamboja, 24 Oktober 2018. Perusahaan seperti Coca-Cola dan Heineken Tiger Beer telah merekrut tim ini untuk mendesain pakaian dari produk limbah mereka. REUTERS/Samrang Pring

Dinda bercerita dirinya pernah melihat sampah yang menggunung, rupanya sampah tersebut terdiri dari berbagai pakaian. Sampah tersebut termasuk limbah fesyen yang berasal dari sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang dibuang.

Sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami, seperti polyester dan nilon yang membutuhkan waktu terurai antara 20 hingga 200 tahun. Walau begitu, terdapat pula bahan alami seperti kain katun dan linen.

Selain itu, limbah fashion juga termasuk limbah cairan. Industri fesyen, kata Dewi, menyumbang dua puluh persen limbah cairan di dunia. Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai.

Berdampak pada krisis iklim

Dewi mengatakan emisi karbon yang sangat besar dari industri fashion terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fashion dan siklus produk. Namun, 70 persen emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.

Tak hanya itu, krisis iklim juga termasuk terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.

Perilaku konsumen ikut berperan

Dinda mengakui dahulu dirinya bisa belanja baju baru setiap hari, walau pada akhirnya hanya terpakai satu-dua kali saja dan tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi.

"Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda.

Ia sendiri mengajukan diri untuk jadi duta kampanye Generasi Nol Emisi di media sosial. Kampanye ini digagas oleh The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut Kemitraan.

Dinda turut berbagi tip agar tak perlu terus-menerus belanja produk fesyen, yaitu dengan memilih produk dasar dalam warna monokrom, seperti hitam dan cokelat, sehingga bisa dikenakan di berbagai acara.

"Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong," kata Dinda.

Limbah fashion bisa ditekan

Selain mengurangi belanja produk fashion, hal yang paling sederhana untuk meminimalkan limbah fashion yaitu mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan.

Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan agar memastikan semua diproses secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang dan dibuat dari bahan yang tahan lama.

"Mengurangi sampah fashion adalah aksi sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Jadi, mari menunjukkan rasa cinta pada bumi dengan mengurangi belanja produk fashion, merawat pakaian dengan baik, dan memodifikasi pakaian lama," kata Dewi.

Baca: Cara Dian Sastro Meminimalisir Tren Fast Fashion, Pakai Baju Lama

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."