Dibintangi Wulan Guritno, Jakarta Vs Everybody Hadirkan Kota dari Mata Pemimpi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Artis Wulan Guritno diketahui menjabat sebagai komisaris di PT Lima Dua Lima Tiga Tbk, yang mengelola sebuah klab malam di Jakarta sejak tahun 2020 lalu. Instagram

Artis Wulan Guritno diketahui menjabat sebagai komisaris di PT Lima Dua Lima Tiga Tbk, yang mengelola sebuah klab malam di Jakarta sejak tahun 2020 lalu. Instagram

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Namanya Dom (Jefri Nichol). Asli dari Padang. Dia sudah lama tinggal di Jakarta. Ketika orang bertanya tentang pekerjaannya, dia dengan tenang dan serius menjawab: "Aktor."

Pinkan (Wulan Guritno), perempuan yang baru ditemuinya di minimarket, menjawab dengan nada tidak percaya. Ratih (Jajang C. Noer), seorang ibu yang menyewa kamar di sebuah rumah susun, tertawa mendengar pengakuan Dom.

Tak terkecuali Khansa (Dea Panendra), pengguna narkoba yang ditemuinya di dalam gerbong, Dom menanggapinya dengan sikap santai, seolah tak peduli dengan ucapan pria yang di ambang omong kosong dan keseriusan itu.

Tapi begitulah di Jakarta - siapa pun berhak bermimpi. Percakapan sederhana seperti itu tampaknya dirangkum oleh sutradara Ertanto Robby Soediskam dalam film Jakarta Vs Everybody untuk menunjukkan betapa banyak kota metropolitan yang mengasuh para pemimpi yang datang sambil bertaruh.

Dom telah mencari cara untuk mewujudkan impian menjadi seorang aktor, tetapi kenyataan berkata lain. Saat bertemu dengan pasangan dan pasangan bandar narkoba Pinkan dan Radit (Ganindra Bimo), pilihan menjadi kurir narkoba sepertinya lebih realistis bagi Dom yang tengah mengalami kesulitan hidup.

Adegan di film Jakarta vs Everybody. Foto: Bioskop Online.

Tema sentral wajah keras ibu kota, lengkap dengan berbagai mimpi dan sisi gelap yang mengiringinya, sepertinya sudah bosan dibicarakan dalam berbagai karya. Pada saat yang sama, Jakarta sebagai latar belakang tidak berbeda dengan kanvas yang tidak pernah sepenuhnya disikat. Jadi pertanyaannya, bagaimana "Jakarta vs Semua Orang" merumuskan tema klasik menjadi suguhan istimewa.

Film ini bisa dikatakan jujur menghadirkan sebagian kecil dari dinamika sosial ibu kota. Dialog dengan umpatan kasar hingga adegan seks, gerakan kamera hingga musik pengiring, semua bahasa ditampilkan mendekati kenyataan.

Namun, Jakarta Vs Everybody mungkin masih akan lebih menantang jika kompleksitas penokohan Dom dieksplorasi secara intens. Dom memang sosok yang unik, ia memiliki motivasi aktor yang bisa sejalan dengan kiprahnya sebagai kurir narkoba.

Apalagi jika penonton menyadari bagaimana Dom menunjukkan aksinya dengan meniru adegan dari film ikonik "Taxi Driver" (1976) di depan cermin. Ditambah lagi, bagaimana Dom menjalankan operasi sebagai pengantar "barang" hari demi hari dengan mengandalkan kemampuan akting dan intuisinya.

Menariknya, Dom melakukan berbagai trik "akting" agar jejaknya sebagai kurir narkoba tidak salah lagi — mulai dari memasukkan obat-obatan terlarang di bangku gerobak, di tumpukan telur, di plester, hingga menyamar sebagai pelayan hotel, sebagai pengantar pizza, sebagai seorang waria.

Di sisi lain, karakter yang berduet dengan Dom di Jakarta Vs Everybody jauh lebih menawan. Meski fokus cerita tidak luas dan tidak tumpang tindih, namun jelas dimensi karakter lain telah meramaikan plot.

Radit dan Pinkan, misalnya, dua karakter ini menunjukkan betapa rumitnya hubungan sebagai sepasang kekasih yang telah hidup bersama selama bertahun-tahun.

Di balik tubuhnya yang besar dan menonjolkan sifat maskulinnya, Radit cenderung cemburu dan obsesif tetapi juga penurut di hadapan Pinkan. Di sisi lain, Pinkan tampil sebagai wanita yang memiliki kekuatan dan mendambakan kebebasan. Dan Dom sendiri, hampir selalu berada di tengah-tengah Radit dan Pinkan saat pasangan tersebut sedang berkonflik.

Berbeda dengan Radit-Pinkan, kehadiran peran pendukung Khansa dan Ratih—yang hanya muncul sebentar—memberi ruang bagi Dom untuk merenungkan makna hidup melalui dialog ringan, bahkan terkadang berusaha menghadirkan humor meski dalam kegelapan.

Dalam beberapa kesempatan, Ratih menjadi tempat Dom berbicara tentang pembuatan film dan akting saat keduanya menonton film di halaman. Meski ibu ala eksentrik itu tak sepenuhnya paham dunia film, Dom tak terlalu peduli. Di kesempatan lain, Dom hanya menanyakan apakah Ratih—sebagai pria Jakarta—pernah merasa bosan dengan hidup.

"Kita tidak pernah bosan hidup bersama. Itu saja. Kita harus menjalani hidup. Jadi kita tidak boleh lelah. ... Tapi, ya, dalam hidup Anda tidak harus menjadi sangat baik. Bisa jadi gila," kata Ratih. Jika menyimak ucapannya yang terdengar sepele, karakter Ratih sebenarnya mencerminkan masyarakat Jakarta yang enggan menaruh harapan tinggi terhadap kehidupan.

Sementara itu, karakter Khansa di luar dugaan berkembang dengan baik. Sosok unik ini mengejutkan penonton di balik citra penumpang mobil biasa yang gemar menonton sinetron di ponsel.

Profesi sebagai pemburu mayat, pengguna narkoba, dan kebiasaan ceria, semua hal di Khansa seolah menjadi manifestasi dari paradoks hidup dan mati yang sangat dekat, namun keanehan tersebut justru diperlakukan dengan biasa saja.

"Bagi saya, hidup hanya sedetik dari kematian. Jadi jangan pernah menirunya," kata Khansa kepada Dom.

Pada akhirnya, pertemuan dengan Khansa membuka jalan bagi Dom untuk memikirkan kembali mimpinya. Begitu pula percakapan singkat dengan Radit yang menegaskan bahwa kebenaran hidup adalah soal bertahan dan menghadapi apa yang ada di depan mata, yang lebih penting soal perjalanan menuju suatu titik.

Sejak saat itu, di permukaan dinding kamar kontrakannya yang tidak rata, Dom mulai menuliskan daftar impian yang ingin dicapainya di tahun 2019: yang pertama banyak uang, yang kedua film.

Jakarta Vs Everybody menjadi menarik berkat kemasan dialog dan penutup film yang dibiarkan terbuka, bahkan sebagian besar adegannya tidak memerlukan dialog yang eksplisit. Setidaknya dengan cara itu, film ini merespon tema kecemasan para pemimpi modal dengan tidak terjerumus ke dalam penceritaan yang klise.

Baca: Curhat Wulan Guritno Soal Tipe Pria Idaman, Lebih Suka dari Indonesia

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."