Desainer Rinaldy Yunardi Ungkap Kebebasan Berkarya Harus Memiliki Aturan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Aktivis dari People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) memprotes penggunaan bulu dalam pakaian, menjelang London Fashion Week, di London, Inggris, 17 Februari 2022. REUTERS/Peter Nicholls

Aktivis dari People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) memprotes penggunaan bulu dalam pakaian, menjelang London Fashion Week, di London, Inggris, 17 Februari 2022. REUTERS/Peter Nicholls

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Polisi Federal Brasil mengelar operasi anti-perdagangan manusia pada Selasa pagi waktu dengan penggerebekan di Universitas Negeri Amazonas (UEA) di Kota Manaus.

Seperti dilansir Vice, Rabu 23 Februari 2022, pihak berwenang Brasil menyatakan organ-organ itu ditujukan untuk seorang desainer Indonesia yang menjual aksesoris dan pakaian menggunakan bahan-bahan dari organ manusia.“Ada indikasi bahwa paket berisi tangan dan tiga plasenta asal manusia dikirim dari Manaus ke Singapura.”

Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Polisi Federal Brasil, yang bertindak atas petunjuk dan menggerebek laboratorium anatomi sekolah, organ-organ itu diawetkan oleh seorang profesor anatomi menggunakan metode yang dikenal sebagai plastinasi. Metode ini menggantikan cairan dan lemak tubuh dengan bahan-bahan seperti silikon dan epoksi untuk mengawetkan mereka.

Berbicara kepada VICE World News melalui panggilan telepon terenkripsi, seorang petugas polisi federal di Brasil mengkonfirmasi pernyataan itu dan mengatakan bahwa organ-organ itu, telah meninggalkan Brasil menuju Singapura. Masih belum jelas apakah paket yang berisi organ manusia berhasil dicegat.

Tidak ada respon dari pihak universitas UEA, tetapi para pejabat melaporkan bahwa seorang anggota staf telah diskors setelah operasi "pencarian dan penyitaan" polisi.

Profesor itu sekarang sedang diselidiki, dengan pihak berwenang menentukan apakah kejahatan perdagangan internasional organ manusia telah terjadi. Jika terbukti, sang profesor terancam hukuman penjara hingga delapan tahun di Brasil.

"Rektorat Universitas Amazonas mematuhi perintah pengadilan dan menentukan pembukaan penyelidikan untuk menyelidiki fakta," demikian bunyi pernyataan dalam bahasa Portugis.

Dalam kasus paket tujuan Singapura, tersangka penerima bagian tubuh tersebut adalah influencer dan perancang busana Indonesia Arnold Putra, yang viral pada 2020 ketika membuat tas tangan terbuat dari tulang manusia anak-anak. Ia mengklaim memperoleh tulang belulang itu “secara etis ” dan “bersumber secara medis dari Kanada dengan dokumen resmi.”

Putra juga pernah menyebabkan kemarahan di Indonesia bulan lalu ketika mengenakan pakaian yang terinspirasi oleh kelompok paramiliter sayap kanan, Pemuda Pancasila, di Paris Haute Couture Week. Kelompok ini menjadi regu kematian selama genosida Indonesia pada 1960-an.

Terkait dengan pemberitaan di atas, kontroversial perihal penggunaan material untuk karya menjadi salah satu hal yang disorot. Tidak hanya material atau bahan yang digunakan, tetapi juga imspirasi yang dijadikan sumber.

Menanggapi kasus yang disinyalir melibatkan salah satu desainer asal Indonesia di atas, desainer aksesoris Indonesia Rinaldy Yunardi angkat bicara. Desainer yang karyanya sudah dikenal luas hingga ke luar negeri ini lebih menyoroti perihal kebebasan berkarya. Namun, kebebasan seperti apa dulu yang dimaksud?

"Seorang desainer bisa menggunakan bahan-bahan yang bisa di-eksplorasi, tetapi semua ada batasannya. Tidak boleh pakai unsur yang ada aturannya terkait ethics, contoh bulu hewan yang dilestarikan," ucapnya saat hubungi melalui pesan instan, Kamis, 24 Februari 2022.

Sama seperti kehidupan yang memiliki aturan dan batasan, lanjut Rinaldy, kreativitas dan ide dalam berkarya tentu jangan dikekang, tetapi harus mempunyai aturan yang menjadi kesepakatan bersama.

Baca: 4 Fakta Arnold Putra, Desainer yang Bikin Tas dari Organ Manusia dan Hewan

SITA PLANASARI

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."