Perlu Kemitraan Global Cegah Epidemi AIDS Dekade Kelima

foto-reporter

Editor

Prodik Digital

google-image
Diskusi Ngobrol@Tempo bertajuk World AIDS Day 2021

Diskusi Ngobrol@Tempo bertajuk World AIDS Day 2021 "End Inequalities, End AIDS, End Pandemics" yang disiarkan secara daring, Selasa (30/11)

IKLAN

INFO CANTIKA-- Dunia akan memasuki tahun ketiga pandemi Covid 19, demikian juga epidemi HIV/AIDS akan memasuki dekade kelima. Country Director UNAIDS untuk Indonesia, Krittayawan Boonto menjelaskan untuk mencegah penularan HIV/ AIDS dan mengurangi dampak pandemi, UNAIDS sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentunya perlu menjalin kemitraan dengan berbagai pihak.

Untuk aksi global terhadap HIV/AIDS, menurut Krittayawan UNAIDS telah mengadopsi tiga prioritas global. Pertama, memaksimalkan akses terhadap layanan yang adil dan merata, mulai dari pencegahan, tes, pengobatan, dan perawatan, supresi viral dan integrasi, transmisi HIV vertikal, serta AIDS pediatri.

Kedua, menghapus hambatan untuk mencapai dampak program HIV. Ketiga, mendanai sepenuhnya dan mempertahankan respon HIV yang efisien serta mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan, jaminan sosial, bantuan kemanusiaan, dan respon terhadap pandemi.

“Dukungan UNAIDS ini bertujuan untuk mengurangi kerentanan seseorang dan komunitas terhadap HIV dan mengurangi dampak pandemi,” ujar Krittayawan Boonto, pada diskusi bersama media dalam peringatan World AIDS Day 2021 bertajuk ‘End Inequalities, End AIDS, End Pandemics’ yang digelar secara daring pada, Selasa, 30 November 2021.

Tina, sapaan karibnya, memaparkan bahwa secara global, terdapat 37,7 juta orang dengan HIV (ODHIV) di 2021, dimana 5,8 juta orang berada di kawasan Asia Pasifik. Pada tahun yang sama, terdapat 1,5 juta infeksi baru secara global dan 240 ribu infeksi baru di Asia Pasifik.

“Kematian akibat AIDS, secara global mencapai 680 ribu, 130 ribu diantaranya di Asia Pasifik. Sementara itu Orang dengan HIV (ODHIV) yang menerima Antiretroviral (ARV) baru sebanyak 28,2 juta atau sekitar 74 persen dari total ODHIV, dan di Asia Pasifik baru sekitar 3,7 juta. Setiap hari ada 4.000 orang terinfeksi HIV, yang terjadi 60 persennya di Sub Sahara Afrika,” paparnya.

Lebih lanjut, Tina menambahkan, “ODHIV memiliki risiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi terhadap Covid-19. Pada enam bulan awal pandemi Covid 19, jumlah tes dan pengobatan HIV terganggu, namun saat ini berangsur membaik.”

Untuk itu, UNAIDS menginisiasi lima aksi untuk mengakhiri AIDS, yaitu respon yang dipimpin komunitas, akses setara terhadap obat dan teknologi kesehatan, dukungan terhadap petugas kesehatan di garda depan, respon berbasis hak asasi manusia dan transformatif terhadap gender, dan sistem data yang dapat mendeteksi ketidaksetaraan.

Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, memaparkan terjadi tren penurunan infeksi baru HIV. “Secara nasional, infeksi baru HIV pada 2020 menurun 47 persen dibanding 2010. Dari 543.100 orang hidup dengan HIV, termasuk penambahan 27.580 orang terinfeksi HIV. Tercatat sebanyak 30.100 ODHIV meninggal pada 2020, yang mana 10.103 kasus kematiannya dilaporkan,” ucapnya.

Sejalan dengan langkah strategis UNAIDS untuk mengakhiri AIDS hingga 2030, Kemenkes telah menyiapkan program “STOP HIV”. S “Suluh”, dimana masyarakat mendapatkan informasi valid tentang HIV/AIDS. T “Temukan”, artinya 95 persen ODHIV mengetahui status aktifnya Adapun O “Obati”, mengajak 95 persen ODHIV yang tahu statusnya mendapatkan terapi ARV. Terakhir, P “Pertahankan” mengartikan 95 persen ODHIV dalam terapi ARV mengalami penekanan jumlah virus HIV.

Program “STOP HIV” didukung oleh 6 strategi penguatan komitmen, perluasan akses layanan, program berbasis data, penguatan kemitraan, inovasi program, dan penguatan manajemen. “Pelayanan kesehatan untuk ODHIV sudah sudah masuk pada standar pelayanan minimal kesehatan pada Kabupaten/Kota sesuai Permenkes nomor 4 tahun 2019,” jelas Nadia yang juga menjabat juru bicara vaksinasi Covid-19.

Sementara itu, Ketua Sekretariat Nasional Jaringan Indonesia Positif (JIP), Meirinda Sebayang, menjelaskan kondisi bahwa akses terhadap pengobatan ARV adalah kebutuhan mendesak bagi kelompok ODHIV. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kekebalan tubuh.

“Dari hasil rapid assessment Agustus 2021 pada 1137 responden, JIP menemukan sebanyak 5 persen responden mengalami penolakan perawatan Covid-19 dengan alasan harus menyertakan surat rujukan dari dokter yang merawat HIV. Alasan lainnya tidak ada kamar tersedia atau tidak tersedia perawatan pasien Covid-19 dan HIV. Selain itu, sebanyak 44,9 persen responden belum dan tidak memiliki jadwal vaksin Covid-19,” kata Meirinda.

Menurutnya, permasalahan yang dihadapi kelompok ODHIV adalah belum tersedianya jaminan dan bantuan sosial karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Setidaknya, ODHIV kehilangan 44 persen pendapatan selama pandemi. “Belum lagi, bayangan stigma negatif dan diskriminasi membatasi mobilitas ODHIV dalam beraktivitas yang membuat ketidaksetaraan cukup kental,” ujar Meirinda.

Menanggapi permasalahan yang dihadapi ODHIV, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan pemerintah berkomitmen memberikan akses dan pelayanan kesehatan bagi siapapun, termasuk kelompok ODHIV dalam hadapi pandemi. “Pemberian vaksin bagi ODHIV sangat aman. Pada fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan tidak melihat status seseorang tersebut HIV atau tidak.” jelasnya.

Kendala belum memiliki KTP sehingga sukar memperoleh vaksinasi, Kemenkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di daerah untuk memberikan identitas kependudukan. “Jadi, jangan ragu-ragu kontak fasilitas kesehatan atau dokter untuk segera divaksin,” ujar Nadia.

Pertengahan 2021 ini, Kemenkes telah menambah pemberian jumlah obat bagi ODHIV untuk konsumsi selama tiga bulan di masa pandemi Covid-19. Program lainnya adalah pendampingan virtual oleh komunitas kesehatan dan layanan telemedisin. (*)

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."