Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan, Kawal Terus UU Tindak Pidana

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi kekerasan seksual. Freepik.com

Ilustrasi kekerasan seksual. Freepik.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Komnas Perempuan menyoroti kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual masih minim penanganan dan perlindungan korban, dimana dalam rentang tahun 2016-2020 Komnas Perempuan mencatat terdapat 24.786 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan baik ke lembaga layanan (masyarakat maupun pemerintah) dan yang langsung ke Komnas Perempuan. Di dalamnya terdapat 7.344 kasus (sekitar 29,6 persen) dicatatkan sebagai kasus perkosaan.

Dari kasus perkosaan tersebut, hanya kurang dari 30 persen yang diproses secara hukum. Komnas Perempuan melihat persoalan minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas, aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban, serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban yang kemudian menjadi kendala utama.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan sesuai dengan mandat, pihaknya melakukan berbagai upaya untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya melalui Kampanye 16 Hari AntiKekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

"Sejak tahun 2001, kami bersama organisasi masyarakat sipil di Indonesia menggelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati mulai 25 November sampai 10 Desember setiap tahun. Pada Tahun 2021 ini, Komnas Perempuan mengangkat isu kekerasan seksual sebagai tema, yaitu "Dukung Korban, Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual: Gerak Bersama, Sahkan Payung Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual yang Berpihak pada Korban," ucapnya melalui siaran pers, Rabu 24 November 2021. 

Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil terus mendorong lahirnya payung hukum untuk membuat perempuan merasa aman di ruang publik. Diawali dengan menemu kenali bentuk-bentuk kekerasan seksual dari cerita pengalaman korban, penyintas dan pendamping hingga mendorong advokasi kebijakan dapat terwujud merupakan perjalanan panjang kampanye anti kekerasan seksual yang telah berjalan kurang lebih 17 tahun lamanya.

"Perjuangan Panjang bagi para korban menunggu dalam ketidakpastian di tengah semakin meningkatnya pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi, karena ketiadaan payung hukum komprehensif yang berpihak dan memiliki substansi tepat tentang kekerasan seksual," lanjut Andy. 

Hal ini terlihat dalam pembahasan RUU tentang Kekerasan Seksual yang diinisiasi oleh Baleg DPR RI dengan nama Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengalami kemajuan dan kemunduran dalam proses dan substansi terutama dengan dihilangkannya frasa “tanpa persetujuan” dalam RUU. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang ditemui, korban dalam situasi tidak ada pilihan, tidak berani, di bawah tekanan atau ancaman untuk menolak kekerasan seksual yang dialaminya.

Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani di Jakarta, Jumat, 17 Juli 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Situasi ini banyak terjadi dalam trend kekerasan seksual yang mencuat dalam 3 tahun terakhir dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, diantaranya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, kekerasan siber berbasis gender, kekerasan di transportasi publik, kekerasan seksual di tempat kerja dan kekerasan seksual yang berakhir dengan pembunuhan.

Komnas Perempuan sangat penting memastikan bahwa substansi RUU tetap pada kepentingan korban sehingga percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Tidak Pidana Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban harus segera terlaksana. Penekanan berpihak pada korban bertujuan agar perlindungan secara utuh bagi korban kekerasan seksual, memutus mata rantai kekerasan seksual (tidak berulang) dan menghadirkan pemulihan korban.

Maka dari itu Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan menjadi momentum penting untuk mendorong perwujudan jaminan rasa aman dari kekerasan seksual bagi semua dengan mendesak:

1. Baleg DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tidak mengabaikan substansi /hal-hal prinsip terkait pencegahan, hukum acara pembuktian, pemulihan dan perlindungan hak-hak korban;

2. Presiden Republik Indonesia agar memberikan arahan kepada Kementerian / Lembaga terkait untuk memperhatikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyusunan payung hukum agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibahas dan disahkan memiliki ketepatan substansi untuk membangun, menjaga, memelihara dan membantu ruang-ruang pengaduan untuk penanganan dan pendampingan korban kekerasan seksual dengan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kapasitas yang memadai;

3. Media dan Masyarakat secara terus menerus mengawal proses pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar segera disahkan termasuk juga melakukan kampanye “Dukung Korban, Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual: Gerak Bersama, Sahkan Payung Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual yang Berpihak pada Korban".

Baca: Hasil Studi: 91,7 Persen Orang Pernah Jadi Korban Kekerasan Seksual Online

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."