Hasil Studi: 91,7 Persen Orang Pernah Jadi Korban Kekerasan Seksual Online

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Selama masa pandemi berlangsung, kegiatan bersosialisasi yang semula dilakukan dengan tatap muka, kini harus beralih ke media sosial dan platform daring lainnya. Dengan begitu, fenomena kejahatan dan kekerasan seksual yang awalnya lebih sering terjadi secara langsung pun ikut berpindah ke ranah digital.

Peneliti Tabu.id dan Universitas Udayana, Bali, Gede Benny Setia Wirawan telah melakukan riset dengan topik Kekerasan Berbasis Gender Siber (KGBS) kepada lebih dari 1000 responden. Hasilnya adalah sebesar 91,7 persen responden pernah menjadi korban KGBS dan 61 persen di antaranya pernah menjadi pelaku KGBS. "Dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa fenomena KGBS memang sedang marak terjadi," kata Benny dalam konferensi pers virtual pada 8 November 2021.

Namun sayang, tak semuanya paham mengenai kekerasan satu ini. Para responden penelitian ini adalah perempuan. Walau begitu, mereka tidak diklasifikasi antara pekerjaan dan pendidikan serta sosial ekonominya. 

Gede Benny Setia Wirawan menjelaskan, bentuk kekerasan yang bisa dialami secara daring antara lain seperti doxxing atau penyebaran identitas pribadi, penyebaran video pribadi oleh teman atau pasangan, menerima pesan mengancam, pesan pornografi, atau pesan lainnya yang tidak diinginkan.

Berdasarkan jenis uraian terhadap bentuk KGBS, persentase tertinggi datang dari penerimaan pesan yang mengandung unsur pornografi atau pesan yang tidak diinginkan dengan angka hampir menyentuh 75 persen. Diikuti dengan penerimaan pesan ancaman dengan persentase pada angka sekitar 60 persen.

Sayangnya, dari hasil penelitian ini menyampaikan bahwa wanita memiliki tingkat yang lebih rentan untuk menerima kekerasan. Sedangkan laki-laki berpotensi lebih besar untuk menjadi pelakunya.

Tak sampai di situ, hasil penelitian tersebut juga menyebutkan pelaku KGBS bisa menjadi sebuah siklus dimana yang pernah menjadi korban bisa berubah menjadi pelaku. Para pelaku menganggap bahwa tindakan kekerasan seksual berbasis siber itu dianggapnya normal. “Orang yang pernah menjadi penyintas dia juga kemudian cenderung melakukan KGBS mungkin karena dia merasa dia pernah mengalami dengan intensitas ringan lalu dendam, dan merasa ini merupakan suatu yang normal. Dan akhirnya menjadi sebuah siklus,” ujar Gede Benny Setia Wirawan.

Sebagai cara yang paling tepat untuk menghindari terjadinya KGBS adalah dengan lebih banyak berpikir sebelum bertindak dan tidak menggunakan kata-kata hinaan atau kalimat yang menyepelekan saat berbicara dengan orang lain. Karena pada dasarnya tidak ada batasan mengenai bentuk kekerasan yang pasti. Selama ada orang yang merasa tidak nyaman akan suatu hal, itu sudah termasuk dalam bentuk kekerasan.

Baca: Dalami Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Luwu Timur, KPPPA Turunkan Tim

LAURENSIA FAYOLA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."