Tuberkulosis, Penyakit Jadul yang Masih Perlu Terus Indonesia Perangi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaTuberkulosis masih menjadi salah satu ancaman terbesar bagi Indonesia. Data menyebutkan Indonesia adalah negara kedua pasien tuberkulosis terbanyak setelah India. Tuberkulosis bukan pernyakit baru. tbindonesia.or.id mencatat kasus TBC di Indonesia tertua tercatat pada salah satu relief di Candi Borobudur pada abad ke-8.

Sejarah mencatat, salah satu pahlawan Indonesia, Jenderal Soedirman pun meninggal karena penyakit tuberkulosis pada 1950. Nah, perjuangan melawan penyakit menular itu pun masih berlanjut hingga saat ini.

Masih ada banyak yang termakan hoaks soal penyakit tuberkulosis ini. Salah satunya sangkaan bahwa tuberkulosis adalah penyakit turunan. Koordinator Substansi Tuberkulosis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan, Tiffany Tiara Pakasi menegaskan tuberkulosis bukan penyakit keturunan tetapi masalah kesehatan yang ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. "Ini bukan penyakit keturunan tetapi ketularan atau menular," kata dia dalam konferensi pers virtual Pelncuran TOSS TBC Virtual Runand ride 2021 Kamis 12 Agustus 2021.

Penyakit dengan sifat kronis ini disebabkan infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyerang organ pernapasan seperti paru-paru, organ vital lain misalnya otak, tulang, kulit kelenjar getah bening, bahkan organ-organ lain. Gejala yang muncul umumnya meliputi demam, sumeng, tidak enak badan, batuk berdahak, nafsu makan berkurang yang menyebabkan berat badan turun pada anak-anak.

Menurut Tiara, saat seseorang atau anggota keluarga mengalami gejala-gejala itu lebih dari dua pekan maka saatnya curiga risiko tuberkulosis. "Gejalanya kita harus curiga kalau ada kejadian lebih dari dua minggu, berbeda dari COVID-19 yakni demam sumeng-sumeng, tidak tinggi tapi hangat, tidak enak badan, batuk umumnya berdahak, nafsu makan kurang sampai akhirnya lama-lama berat badan bisa menurun apalagi pada anak-anak," kata dia.

Selain itu, gejala umum lainnya yang juga ditemukan pada pasien yakni berkeringat di malam hari padahal dia tak melakukan aktivitas fisik cukup berat. Siapa saja bisa terkena tuberkulosis mulai dari balita, anak, remaja, sampai lansia. Pada anak, TBC biasanya ditularkan dari orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, mengobati tuberkulosis pada orang dewasa hingga selesai menjadi penting. "Kalau anak-anak kena tuberkulosis, pasti sumber penularan orang dewasa yang ada di sekitarnya, sehingga memang risiko kita atau double risk-nya kalau kita tidak menemukan dan mengobati pasien dewasa misalnya adalah anak-anaknya berpotensi tertular," kata Tiara.

Pada tahun 2019 tercatat sekitar 70.341 kasus TB pada anak dengan 27 per 10.000 balita dan 2 per 10.000 mengalami penyakit itu. Sementara pada dewasa, data pada tahun 2020 memperlihatkan perkiraan kasus sebanyak 845.000 dengan 357.199 kasus yang terlaporkan.

Pemerintah menargetkan penurunan kasus tuberkulosis pada tahun 2030 menjadi 65 per 100.000 penduduk dan penurunan angka kematian 6 per 100.000 penduduk. Berdasarkan strategi penanggulangan TBC 2020-2024, ada enam hal yang dilakukan untuk mencapai ini, antara lain penguatan kepemimpinan, akses, pengendalian infeksi, pengobatan, peningkatan peran serta komunitas dan pemanfaatan hasil riset dan teknologi screening, diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis.

Dari sisi fasilitas, saat ini rujukan tuberkulosis di seluruh provinsi tersedia, meliputi 9642 puskesmas, 1833 rumah sakit pemerintah, swasta dan kilnik paru serta 340 lainnya seperti lapas, klinik swasta dan dokter praktek mandiri, ditambah laboratorium pendukung diagnosis.

Ilustrasi obat Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

Perjuangan mengalahkan penyakit tuberkulosis ini membutuhkan pengorbanan tersendiri. Mereka yang terkena tuberkulosis perlu mendapatkan pengobatan tepat hingga selesai sesuai rekomendasi tenaga kesehatan. Pengobatan tak teratur bisa berujung masalah baru, salah satunya TBC resisten obat yang jumlahnya kini mencapai 4590 kasus dari 7921 kasus tuberkulosis yang terkonfirmasi, menurut data pada April 2021.

Pada kasus tuberkulosis resisten obat, menurut Tiara, bakteri sudah kebal terhadap obat antituberkulosis lini pertama akibat pasien tidak berobat teratur (bukan hanya seminggu tapi bisa berbulan-bulan). Akibatnya, obat jadi berbeda, gejala jadi berat, dan minum obat lebih lama bisa sampai 2 tahun.

Pengobatan tuberkulosis membutuhkan waktu cukup panjang sehingga motivasi pasien harus terjaga dan ini perlu dukungan dari keluarga bahkan tetangga agar dia tak enggan meminum obat lalu berpotensi menularkan.

Selain obat, asupan makanan bergizi juga pasien butuhkan. Tiara mengakui, nafsu makan biasanya berkurang pada masa awal pasien sakit dan belum diobati. Tetapi setelah dua pekan hingga sebulan dia dinyatakan negatif, nafsu makan perlahan membaik. Saat itulah, asupan makanan bergizi perlu didorong, juga menjalani gaya hidup sehat lain seperti beristirahat yang cukup, melakukan aktivitas fisik rutin dan rutin berjemur.

Dalam pengobatan, pasien juga sebaiknya tidak diberi stigma karena ini bisa membuatnya makin malas meminum obat. Tuberkulosis masih mendapat stigma sebagai pasien tiga huruf yang kurang baik dan identik dengan kaum miskin, belum lagi hoaks yang beredar mengaitkannya dengan COVID-19. Tiara, ia mengingatkan pentingnya mendukung pasien tuberkulosis dalam pengobatannya.

Dengan pemahaman bahwa TBC bukan penyakit genetik tapi diderita seseorang karena penularan atau gaya hidup tidak sehat, maka masyarakat menjadi lebih mengerti bagaimana menyikapi gejala dan penyakit ini. Tuberkulosis bukanlah kutukan, namun merupakan penyakit yang bisa disembuhkan dengan pengobatan dan penanganan yang tepat dan tentu saja perilaku penderita dan orang-orang di sekitarnya untuk mendukung kesembuhan.

Baca: Tuberkulosis Masih Mencekam, Pemerintah Daerah Perlu Tingkatkan Aksi Pencegahan

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."