Kedekatan Kartini dengan Marie Ovink-Soer, Belajar Pola Hubungan Setara

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
Raden Ajeng Kartini bersama dua saudarinya Kardinah dan Roekmini. Wikipedia/Tropenmuseum

Raden Ajeng Kartini bersama dua saudarinya Kardinah dan Roekmini. Wikipedia/Tropenmuseum

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaKartini memiliki hubungan yang dekat dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara. Tempat tingga Ovink-Soer tak jauh dengan rumah Kartini, sehingga mereka sering bertemu. Namun meski rumah mereka berhadapan, Kartini, dan kedua adiknya Roekmini dan Kardini tetap diantarkan kereta menyebrangi alun-alun jika ingin mengunjungi Ovink-Soer.

Kehadiran tiga bersaudara datang, menghapus rasa kesepian Nyonya Ovink-Soer, yang tak memiliki anak. Komunikasi di antara mereka pun lancar, karena tiga bersaudara itu bisa berbahasa Belanda dengan baik. Sejak awal mereka memiliki hubungan yang hangat. Bahkan saking dekatnya, Ovink-Soer memanggil Kartini dan dua adiknya dengan sebutan Het Klaverblad atau Tiga Saudara. Ketiga bersaudara juga memiliki julukan untuk Ovink-Soer dengan sebutan Moedertje, yang artinya ibu sayang.

Kartini, yang saat itu berumur 12 tahun, paling banyak berbicara dan selalu dapat memberi jawaban atas pertanyaan Ovink-Soer mengenai kondisi Jepara, dibanding dua adiknya. Mereka memiliki hubungan yang istimewa. "Matamu hidup bersinar gembira, seolah-olah kau berpikir: 'saya merasa wanita Belanda ini dan saya kelak akan sangat dekat," kesan Ovik-Soert terhadap Kartini, dalam buku Memoire yang dikutip Kartini: Sebuah Biografi karangan Sitisoemandari Soeroto.

Lewat Nyonya Ovink-Soer, Kartini belajar budaya Belanda. Dia diajari membalas kecupan pipi dari seorang perempuan Belanda. Meski dia mengaku aneh saat membalas ciuman pipi, namun bisa terbiasa. Ovink-Soer meyakinkan Kartini bahwa dia setara dengan perempuan Belanda. Jalinan pertemanan di antara mereka yang bagaikan hubungan darah memperkuat perasaan kesetaraannya.

Kartini dan dua adiknya banyak berdiskusi dengan Ovink-Soer, membagi segala gagasan, perasaan, dan impian. Diskusi dengan istri asisten residen ini membuat tiga bersaudara itu bebas dibanding menyampaikannya kepada orang tua mereka. Mereka juga bermain musik, membaca buku, dan melukis. "Saya mencintai mereka seperti anak saya sendiri," kata Nyonya Ovink-Soer. Bila akhir pekan, Ovink-Soer sesekali mengajak Kartini beserta dua adiknya berpelesir ke Pantai Bandengan, yang letaknya sekitar tujuh kilometer di utara Kota Jepara.

Sayangnya, hubungan intensif mereka hanya berlangsung sebentar. Usai lulus dari sekolah Europeesche Lagere School, Kartini  menjalani pingitan. Meski Ovink-Soer dan suaminya berusaha mempengaruhi Sosroningrat, ayah Kartini, agar membatalkan rencana pingitan tetap tak berhasil. Sampai di tahun 1896 ayahnya melepaskan Kartini dari pingitan. kunjungan ke rumah Ovink-Soer semakin sering dilakukan usai pingatan.

Hubungan Kartini dengan Ovink-Soer membuatnya mengenal sastra feminis Belanda dan jurnal-jurnal perempuan. Seperti halnya Stella Zeehandelaar, Marie Ovink-Soer adalah penulis kontributor untuk buku-buku tentang perempuan dan anak-anak. Dia juga yang mengenalkan Kartini dengan De Hollandsche Lelie, majalah progresif yang memperjuangkan hak perempuan, dan merayunya untuk menulis iklan mencari sahabt pena.

Namun setiap pertemuan memiliki perpisahan. Hubungan mereka menjadi renggang saat Ovink-Soer dan suaminya dipindahkan ke Jombang pada 1899. Dan komunikasi di antara mereka berlanjut lewat surat-menyurat.

Perkenalan Kartini dengan kehidupan keluarga Ovink-Soer ini juga yang membukakan pikiran mengenai pola hubungan antara pria dan perempuan. Pasangan Ovink-Soer menerapkan hubungan setara, bebas, dan harmonis, yang menarik perhatian Kartini. Kedua pasangan ini saling menghargai sebagai kawan dan sama-sama mempunyai hak suara dalam persoalan pribadi. Adapun Kartini melihat pola hubungan pasangan yang timpang dengan realitas dalam masyarakat Jawa yang feodal.

Di usia 16 tahun Kartini sempat megatakan tak ingin menikah kepada Ovink-Soer. Dia tak percaya akan ada pria Jawa yang bisa bersikap seperti pria Barat, yang menghargai pasangannya. Namun, delapan tahun kemudian, Kartini menyurati Ovink-Soer mengenai rencana pernikahannya pada 1903. Pernikahan Kartini pun tak berlangsung lama. Setahun setelah pernikahan, Kartini wafat. "Pada puncak mekarnya, perempuan muda itu dicabut hidupnya, padahal ia masih dapat memberkahi orang banyak,” kata Ovink-Soer meratapi kematian Kartini.

MAJALAH TEMPO

Baca juga: Alasan Kartini Mengapa Perempuan Perlu Mendapat Pendidikan

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."