Tantangan Anak Perempuan Indonesia, dari Akses Pendidikan hingga Stigma

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi tiga anak perempuan bermain bersama. Unsplash/Rahmani Kresna

Ilustrasi tiga anak perempuan bermain bersama. Unsplash/Rahmani Kresna

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Anak perempuan di Indonesia saat ini masih mengalami ketertinggalan dan banyak tantangan. Padahal, anak perempuan memegang peranan penting dalam kemajuan dan masa depan sebuah negara. Bagi anak perempuan marjinal, kesempatan mereka untuk dapat berkembang dihambat dengan beragam sebab.

Mulai dari penyebab eksternal seperti akses ke pendidikan, ketimpangan stigma sosial dan rendahnya tingkat ekonomi keluarga hingga faktor internal dari dirinya sendiri seperti rendahnya kepercayaan diri dan ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.

Hal ini dibuktikan dengan Indonesia yang berada pada peringkat 116 dari 189 negara berdasarkan Gender Inequality Index. Plan Indonesia juga menemukan bahwa angka pengangguran kaum muda berusia 15-24 tahun berada pada angka 17,8 persen dan mayoritasnya adalah perempuan.

Oleh karena itu, untuk mendukung peningkatan kapasitas serta kepemimpinan anak dan kaum muda perempuan, edukasi secara menyeluruh diperlukan, tidak hanya dari pendidikan formal, namun informal pun menjadi bekal mereka agar dapat terus mengembangkan diri dan membuka kesempatan selebar-lebarnya.

Melalui Ride For Equality “We Ride for Girls’ Education”, Plan Indonesia bertujuan untuk mendukung keberlanjutan pendidikan bagi anak perempuan di Indonesia, khususnya anak perempuan yang paling terpinggirkan dengan menyelenggarakan kelas kepemimpinan atau leadership.

Ilustrasi dua anak perempuan bermain di luar ruangan. Unsplash/Keisha Montfleury

CEO Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen, mengungkapkan, belum ada negara yang benar-benar menerapkan kesetaraan gender. Perempuan sejak kecil masih menghadapi gender stereotipe dan bias di berbagai hal dari akses sekolah, pekerjaan, kesempatan memimpin maupun membuat berbagai keputusan untuk hidupnya.

“Untuk itu, kami bekerja dengan berbagai mitra untuk terus mendorong kesetaraan dan kepemimpinan bagi anak perempuan di berbagai bidang,” ucap Anne dalam acara Dialog Intergenerasional “Women and Girls : Game Changer in Development”, Sabtu, 6 Maret 2021.

Plan International melaporkan bahwa 62 persen dari 10.000 anak dan kaum muda perempuan yang disurvei di 19 negara, mengatakan yakin dengan kemampuan mereka untuk memimpin dan 76 persen secara aktif ingin menjadi pemimpin dalam karier, komunitas, atau di negara mereka.

Namun, hingga kini anak perempuan di berbagai pelosok masih menghadapi berbagai hambatan untuk maju. Bahkan, Plan International mencatat masih ada 65 juta anak perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan. Ini menunjukkan anak perempuan punya keinginan kuat untuk maju, namun masih menghadapi berbagai hambatan.

Dukungan dan investasi dari berbagai pihak, menurut Anne, sangat diperlukan demi terciptanya kesempatan dan partisipasi setara bagi anak perempuan dalam pembangunan.

Ilustrasi dua anak perempuan. Unsplash/Alexandra Lammerink

“Kalau saya melihat anak-anak perempuan ini yang masih sangat muda, dan mereka memiliki kepercayaan diri, dan mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif, saya sangat bangga. Saya berharap perempuan pemimpin ini akan terus mengikuti passion, cita-cita mereka. Selalu percaya bahwa apapun yang kalian hadapi, kecil atau besar, itu pernah dirasakan oleh mentor yang lain. Jangan cepat menyerah, fokus pada tujuan yang ingin kalian capai, dan memberikan yang terbaik,” katanya.

Acara yang dilakukan secara daring ini, diikuti lebih dari 2000 audiens
yakni anak dan kaum muda perempuan melalui tayangan langsung berbagai media digital. Kegiatan ini merupakan acara puncak rangkaian kegiatan Girls Leadership Program (GLP) dan sebuah komitmen nyata untuk memberdayakan anak dan kaum muda perempuan.

Dalam acara yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa program tersebut diharapkan dapat melahirkan anak-anak perempuan yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan leadership.

"Modalnya adalah mereka memiliki sensitivitas pada lingkungannya. Apa yang bisa saya bantu? Itu adalah ciri pemimpin, bukan tentang 'me', 'me', 'me'. Kepedulian dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang membantu orang lain, karena anda
sebenarnya punya alasan untuk tidak berbuat apa-apa,” kata menteri yang juga berperan sebagai Principal Mentor bagi 120 anak dan kaum muda perempuan dari seluruh Indonesia sejak Desember 2020.

Salah satu Girls Leaders asal Mataram yang menjadi pembicara yaitu Silvia, berbagi cerita kegiatannya untuk dapat mengajak anak perempuan tuli untuk berdaya.

“Saya ingin membantu dan menginspirasi anak perempuan penyandang tuli lainnya,
bahwa kita juga bisa berkarya dan bekerja. Sebagai anak perempuan penyandang tuli, kita juga berhak diperlakukan setara. Dengan adanya program ini, saya bisa membantu meningkatkan keterampilan kerja dan kepercayaan diri teman-teman saya,” ungkapnya.

Baca juga:

Hari Ayah Nasional, Intip 7 Cara Ayah Dekat dengan Anak Perempuan

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."