Sejarah No Bra Day yang Diperingati Tiap 13 Oktober

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mila Novita

google-image
Ilustrasi bra. (Purewow/Twenty)

Ilustrasi bra. (Purewow/Twenty)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Tiap 13 Oktober diperingati sebagai Hari Tanpa Bra atau No Bra Day yang berlangsung di tengah bulan kesadaran kanker payudara. Peringatan ini diawali dari Breast Reconstruction Awareness (BRA) Day pada 2011 yang dicetuskan dokter bedah Mitchell Brown dari Kanada.

BRA Day dicetuskan untuk membantu perempuan memahami lebih dalam tentang rekonstruksi payudara setelah mastektomi dan kehidupan yang dijalani setelah mengalami kanker payudara.

Saat itu, acara-acara yang digelar BRA Day di Kanada menghadirkan forum pertemuan antara pasien, penyintas dan perempuan yang berisiko terkena kanker payudara dengan para dokter bedah rekonstruksi dan pasien yang pernah melakukan rekonstruksi.

Dilansir dari The Sun pada Selasa, saat itu gerakan tersebut ramai dibicarakan di media sosial dan para warganet menggunakan tagar #nobraday. Banyak yang ikut berpartisipasi dengan mengunggah foto tanpa bra di media sosial.

Bukan cuma mendorong perempuan untuk menikmati hari tanpa bra, tujuannya adalah menggalakkan kesadaran dan mendorong perempuan untuk aktif memeriksa payudaranya sendiri, memastikan mereka tahu apa saja ciri-ciri kanker payudara.

Dokter spesialis bedah onkologi di RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo, Sonar Soni Panigoro mengatakan tak hanya gen yang bisa menyebabkan seseorang terkena kanker payudara, tetapi juga faktor lingkungan dan ini berkontribusi sebesar 95 persen pada kejadian kanker.

Sebesar 30-35 persen di antaranya akibat diet tak sehat, laku 10-20 persen karena obesitas, 15-20 persen akibat infeksi, 25-30 persen karena rokok dan 4-6 persen akibat minuman beralkohol. Sementara sisanya, 10-15 persen karena faktor lainnya.

Selain itu, jenis kelamin perempuan, tidak menikah, menopause terlambat (lebih dari 55 tahun), pernah menjalani operasi tumor jinak payudara, ada riwayat kanker payudara, mendapatkan terapi hormonal yang lama juga bisa menjadi faktor risiko.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."