Psikolog Ungkap Pemicu Body Shaming, Kurangnya Rasa Empati

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi body shaming. shutterstock.com

Ilustrasi body shaming. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Pekan silam, Revina VT menjadi sorotan warganet. Selebgram dan influencer itu mencuit kalimat yang dianggap telah melakukan body shaming kepada perempuan yang dijumpainya di pusat kebugaran dan menyebutnya sebagai polusi visual untuk matanya. Cuitan tersebut sempat menjadi trending topic di Twitter beberapa hari terakhir pekan silam.

"Lo pernah ga sih liat orang ngegym, terus pede bener pake sport bra + celana pendek yang pantatnya keliatan separo tapi polusi visual aja buat mata lo. Perih bener," cuitnya di Twitter pada Rabu, 2 September 2020.

Jika ada seseorang mengatakan bahwa tubuh dan penampilan kita bisa menjadi polusi visual bagi orang yang melihatnya, menurut Psikolog Anisa Cahya Ningrum tentu hal tersebut menjadi pendapat yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut adalah salah satu bentuk body shaming kepada orang lain.

Body shaming menurut Anisa adalah tindakan mengomentari bentuk tubuh seseorang, yang bisa mempengaruhi kondisi mental orang yang dikomentari. Body shaming juga senada dengan bullying berbentuk verbal.

"Korbannya akan merasa dipermalukan, dan merasa tidak nyaman secara sosial.
Dalam kondisi yang buruk, perlakuan ini bisa berdampak gangguan mental, sehingga korbannya menjadi stres, cemas bahkan depresi. Pada kasus yang lebih fatal lagi, bisa memunculkan pikiran untuk bunuh diri," kata Anisa kepada Tempo.co, Senin, 7 September 2020.

Pelaku body shaming ada yang dengan sengaja dan tidak peduli bahwa perilakunya merugikan orang lain, namun ada juga yang tidak memahami betapa berbahayanya tindakan ini.

"Satu hal yang penting dari perilaku ini adalah, kurangnya rasa empati pada orang lain. Seringkali perilaku body shaming diucapkan secara langsung kepada korban, sehingga dampaknya pun dirasakan secara langsung dan seketika olehnya," jelasnya.

Namun di era serba teknologi ini, seseorang melakukan body shaming bisa juga secara virtual atau tertulis di status media sosial. Annisa melanjutkan Meski tidak langsung dirasakan oleh korban, namun bagi pembaca yang peduli, akan menimbulkan reaksi dalam bentuk komentar-komentar negatif, yang juga berpotensi terjadinya bullying verbal yang saling berbalas dan tiada henti.

"Body shaming sebetulnya tidak melulu tentang kompetisi, namun lebih pada kemampuan berempati. Penting kiranya kita memahami, bahwa meski kita mengetahui kelemahan seseorang, namun kita tidak memiliki hak untuk merendahkannya, apalagi menyakiti perasaannya," saran Psikolog di Motherhope Indonesia ini.

EKA WAHYU PRAMITA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."