CANTIKA.COM, Jakarta - Di beberapa kesempatan, Ratu Elizabeth II kerap menjinjing tas hitam berukuran sedang hingga kecil. Nenek Pangeran William ini dikenal sangat menyukai tas keluaran merek Launer. Dikabarkan ia memiliki lebih dari 200 tas mereka asal Inggris itu.
Sama halnya seperti kita, ada tas favorit yang sering dipakai Ratu di antara ratusan itu. Apa itu? Tas warna hitam Royale, Traviata, dan tas yang dibuat khusus untuk Ratu Inggris tersebut.
Baca Juga:
Saat menjinjing tas, Ratu selalu membawa barang bawaan wajib saat ia berada di luar rumah. Sally Bedell Smith, penulis buku biografi Elizabeth the Queen: The Woman Behind the Throne membeberkan istri Pangeran Phillip ini membawa sejumlah barang di dalam tas mungilnya yakni kaca, lipstik, foundation pensil, kacamata baca, dan permen mint.
Ratu juga sering membawa gantungan portabel untuk menggantung tasnya di bawah meja ketika ia duduk. Hal itu dikisahkan oleh Jean Wills, sepupu Ratu, saat makan malam bersama di Istana Windsor, Berkshire, Inggris.
"Saya menyaksikan Ratu membuka tas tangannya dan mengeluarkan benda berbentuk seperti cangkir isap putih. Sang Ratu kemudian menempelkan cangkir itu ke bagian bawah meja. Cangkir itu memiliki kait di atasnya, dan dia menempelkan tas tangannya ke dalamnya,” ungkapnya seperti dikutip express.co.uk pada Rabu, 8 Juli 2020.
Sementara itu, Sally Bedell Smith mengklaim cermin dan lipstik kecil jadi barang bawaan penting Ratu. Sebab ia kerap memulas ulang lipstik usai jamuan makan.
Di sisi lain, penulis Phil Dampier mengklaim bahwa Ratu membawa lebih banyak barang pribadi di tas tangannya. Dalam bukunya, What's In The Queen's Handbag: And Other Royal Secrets, Dampier mengungkap Ratu berusia 94 tahun ini membawa koleksi jimat keberuntungan dari anak-anaknya. Jimat yang dimaksud berupa miniatur anjing, kuda, dan pelana.
Ternyata tas yang dibawa Ratu Elizabeth punya fungsi ganda selain mengemas barang bawaannya. Saat ia memindahkan tas dari dari satu tangan ke tangan lain jadi tanda ia ingin mengakhiri suatu percakapan, menurut sejarawan kerajaan Hugo Vickers kepada majalah People.
