Menelusuri Biang Kerok Virus Corona, dari Wuhan ke Penjuru Dunia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi Virus Corona (123rf.com)

Ilustrasi Virus Corona (123rf.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Virus corona kini menjadi pandemi di berbagai negara. Para peneliti menelusuri dari mana virus ini bermula dan bagaimana penyebarannya.

Tiga puluh lima hari setelah empat pedagang dari Pasar Grosir Makanan Laut Huanan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, positif terpapar coronavirus disease 2019 (COVID-19) pada 29 Desember 2019, para peneliti menyimpulkan biang kerok penyakit yang gejalanya seperti pneumonia itu adalah kelelawar.

Dalam laporan yang terbit di Nature edisi 3 Februari 2020, Peng Zhou dari Wuhan Institute of Virology dan tim menemukan urutan genom virus yang dinamai SARS-CoV-2 yang diambil dari para pasien identik 96,2 persen dengan virus BatCoV RaTG13 yang terdapat pada kelelawar asal Yunnan, Rhinolophus affinis.

Kelelawar tak sekali ini saja menjadi sumber penyakit bagi manusia. Wabah sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012, yang menginfeksi hampir 2.500 dan menewaskan 858 penderita, juga berasal dari kelelawar jenis berbeda. Begitu pula sindrom pernapasan akut parah (SARS) 17 tahun lalu, yang menginfeksi 8.000 orang dan menelan korban 774 jiwa.

Penelitian Zhou juga mengkonfirmasi kemiripan genom virus SARS-CoV-2 itu dengan virus SARS sebesar 94,4 persen. Perbedaannya, pada SARS, inang perantara antara kelelawar dan manusia adalah musang bulan (Paguma larvata), sedangkan pada Covid-19 masih misterius.

Joko Pamungkas dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor mengatakan kelelawar juga reservoir virus Nipah, yang pertama kali muncul di Hendra, Australia, pada 1994 dan muncul kembali di Nipah, Malaysia, pada 1998. "Dari empat genus virus corona, yang paling berbahaya bagi manusia adalah betacoronavirus. Ada indikasi kuat betacoronavirus yang ada pada kelelawar menjadi moyang virus yang kemudian menginfeksi manusia," kata Joko, yang menjabat Kepala Pusat Penelitian Satwa Primata IPB 2012-2017.

Ilustrasi kelelawar. Bats.org.uk

Menurut Joko, penelitian pengamatan atau surveillance terhadap satwa liar penampung virus-virus yang berpotensi menginfeksi manusia seperti kelelawar ini sangat penting. Penelitian seperti itu dilakukan Joko pada 2011 dan berakhir tahun lalu melalui program Emerging Pandemic Threat (EPT), yang didanai USAID. "Salah satu komponen EPT adalah Proyek PREDICT yang melibatkan lebih dari 30 negara di Asia-Afrika. Proyek ini bertujuan memetakan semua virus pada satwa liar dan melihat adakah potensi bahaya bagi manusia di masa depan," ujar Joko.

Satwa liar yang dipantau melalui penelitian PREDICT ada tiga takson, yakni kelelawar, rodent atau hewan pengerat, dan primata. Pemilihan itu, menurut Joko, berdasarkan literatur yang ditelusuri hingga 1940, hewan-hewan tersebut merupakan pembawa penyakit terbanyak bagi manusia. Menurut penelitian yang terbit dalam Trends in Parasitology 2016, kelelawar adalah inang dari 28 penyakit zoonosis, hewan pengerat menampung 85 penyakit, karnivora membawa 83 penyakit, hewan berkuku atau ulugata mengandung 68 penyakit, dan primata membawa 63 penyakit.

Dalam penelitian PREDICT fase 1, yang berlangsung mulai 2011 hingga 2014, dapat dikumpulkan lebih dari 400 sampel satwa liar dari Jawa Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Bali. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel yang berjumlah hampir 2.500 itu menemukan 33 virus dari lima famili, yakni Astroviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Rhabdoviridae, dan Coronaviridae sebanyak sembilan virus. “Setelah kami urutkan dan lihat pohon filogenetiknya, ternyata jaraknya cukup jauh dari SARS, MERS, atau Nipah,” ucap Joko, yang menjadi Koordinator Indonesia untuk PREDICT.

Adapun data PREDICT fase 2, kata Joko, belum dapat dipublikasikan karena masih menunggu persetujuan pemerintah. Tapi Joko mengaku ada 30 virus yang bisa ditemukan, 13 di antaranya merupakan virus baru yang belum pernah dilaporkan. "Sama dengan fase 1, virus-virus itu masih jauh kekerabatannya dengan SARS atau MERS," ujarnya. "Namun saya tidak berani mengatakan bahwa kita aman karena jumlah sampel kami sangat kecil dan frekuensi pemantauan pun tidak sering."

Ilustrasi virus corona atau Covid-19. REUTERS

PREDICT Indonesia juga bekerja berdasarkan prioritas karena dana yang terbatas. "Kami memilih kelelawar pemakan buah, terutama genus Pteropus dan Acerodon, yang paling banyak dijual di pasar," tutur Joko. Padahal, kata Ibnu Maryanto, ahli kelelawar dan tikus dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ada 329 spesies kelelawar di Indonesia, termasuk Rhinolophus affinis, yang menjadi inang moyang dari SARS-CoV-2.

Menurut Ibnu, yang menjadi ketua penyusun buku Checklist of Mammal of indonesia Third Edition, Rhinolophus affinis yang pemakan serangga itu memiliki nama lokal prok-bruk hutan dari bahasa Dayak. Sebaran geografinya di Asia dari Bangladesh, Bhutan, Nepal, Kamboja, Cina, Hong Kong, India, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam, sampai Indonesia. "Di Indonesia sebarannya ada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur," ujar Ibnu.

Joko tidak mau berspekulasi apakah prok-bruk hutan membawa virus yang menjadi moyang virus SARS-CoV-2 seperti saudaranya di Cina. Menurut dia, segala kemungkinan bisa terjadi, apalagi jangkauan jelajah kelelawar bisa mencapai ribuan kilometer. "Contohnya, virus Hendra di Australia kemudian muncul di Malaysia dan dikenal sebagai virus Nipah, setelah itu menyebar ke India, Bangladesh, Nepal dan sekitarnya. Mungkin saja terjadi pertemuan, lalu terjadi perpindahan intra-spesies dan antar-spesies," kata Joko. Pemantauan satwa liar merupakan investasi sehingga Joko berharap pemerintah mengalokasikan anggaran yang per tahun sebesar Rp 1-3 miliar itu.

Menjadi reservoir bermacam virus tidak membuat kelelawar mengalami sakit. Menurut penelitian, banyak tulang kelelawar yang kopong atau kosong, tak berisi sumsum tulang agar tubuhnya enteng untuk terbang. Tulang yang tak berisi sumsum itu membuat jumlah sel limfosit kelelawar sedikit.

Kekebalan tubuh kelelawar juga mengandalkan sistem kekebalan bawaan dari induk atau innate immune system, sehingga toleran terhadap patogen. Kelelawar juga mampu mengatur suhu tubuh, menurunkan dan meningkatkan temperatur, sehingga infeksi patogen tak membuatnya sakit.

DODY HIDAYAT | NATURE | SCIENCENEWS | SCIENCEDAILY | NCBI

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."