Presiden Jokowi: Antivirus Corona Belum Ditemukan, Obatnya Ada

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Petugas medis menggunakan pakaian pelindung saat merawat pasien terinfeksi virus corona atau Covid-19 si rumah sakit Oglio Po hospital di Cremona, Italia, 19 Maret 2020. REUTERS/Flavio Lo Scalzo

Petugas medis menggunakan pakaian pelindung saat merawat pasien terinfeksi virus corona atau Covid-19 si rumah sakit Oglio Po hospital di Cremona, Italia, 19 Maret 2020. REUTERS/Flavio Lo Scalzo

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan upaya pemerintah dalam menangani wabah corona yang terjadi saat ini. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui layanan siaran langsung, Presiden Jokowi mengatakan segera melakukan rapid test corona dan memesan obat penawarnya.

"Antivirus Corona belum ditemukan, obatnya ada," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jumat, 20 Maret 2020. Obat yang dimaksud adalah Avigan dan Chloroquine. Pemerintah masih dalam proses memesan 2 juta butir Avigan, dan sudah menyiapkan Chloroquine dalam jumlah yang sama.

"Kami tidak diam. Kami mencari informasi apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan COVID-19 ini," kata Presiden Jokowi. Obat bernama Avigan ini semula dibuat oleh Fujifilm Toyoma Chemical yang mengembangkan bahan favipiravir. Pada Selasa, 17 Maret 2020, Pemerintah Cina menyatakan obat flu itu yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang itu efektif melawan virus corona.

"Obat ini memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan efektif dalam mengobati virus corona," kata Zhang Xinmin, Direktur Pusat Nasional Cina untuk Pengembangan Bioteknologi seperti dikutip dari Nikkei. Fujifilm Toyoma Chemical mengembangkan obat itu pada 2014. Di Jepang, obat tersebut sudah diberikan kepada pasien yang terpapar virus corona sejak Februari 2020.

Pada 2016, perusahaan farmasi Cina, Zhejiang Hisun Pharmaceutical menandatangani perjanjian lisensi paten untuk favipiravir dengan Fujifilm Toyama Chemical. Uji klinis atas obat ini pernah dilakukan terhadap 200 pasien yang terpapar virus corona di rumah sakit di Wuhan dan Shenzhen, Cina. Mereka kemudian dites lagi dan hasilnya menujukkan negatif virus corona.

ilustrasi obat (Pixabay.com)

Adapun Chloroquine atau klorokuin adalah obat malaria yang memiliki efek antivirus. Ahli mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra mengatakan Chloroquine fosfat dapat digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19. "Zat klorokuin punya antimalaria sekaligus antivirus, meski belum diketahui apakah bisa untuk virus apa saja," kata dia. "Yang jelas, zat itu pernah diteliti juga punya aktivitas anti-HIV."

Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional Cina yang berada di bawah Kementerian Sains dan Teknologi, menyatakan klorokuin fosfat memiliki efek penyembuhan tertentu pada pasien yang terserang penyakit pernapasan akibat infeksi virus corona baru. Pemerintah Cina dikabarkan sedang menguji penggunaan obat tersebut untuk pasien COVID-19 di lebih dari sepuluh rumah sakit di Beijing serta rumah sakit di Provinsi Guangdong dan Provinsi Hunan.

"Secara umum bisa dianalogikan dapat digunakan. Sebab dari penelitian sebelumnya zat itu bisa dipakai untuk anti-HIV, di mana HIV dipicu virus RNA, sama seperti corona," kata Sugiyono. Virus RNA adalah virus yang materi genetiknya RNA (asam ribonukleat), sedangkan virus DNA materi genetiknya asam deoksiribonukleat. Penyakit ebola, SARS, rabies, hepatitis C, dan HIV/AIDS disebabkan oleh virus RNA. Virus corona termasuk dallam virus RNA.

Mengenai rapid test, Presiden Jokowi mengatakan tes cepat untuk mendeteksi virus corona pada tubuh seseorang, itu sudah dijalankan di wilayah yang paling rawan terpapar virus corona. "Kami datangi dari rumah ke rumah berdasarkan pemetaan yang menunjukkan indikasi paling rawan. Dimulai di Jakarta Selatan," kata dia.

RINI KUSTIANI | ERWIN PRIMA | NIKKEI | ANTARA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."