Cara Lepas dari Jerat Toxic Relationship, Mulai dari Self-Love

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi pasangan bertengkar. Shutterstock.com

Ilustrasi pasangan bertengkar. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Hubungan yang saling mendukung satu sama lain merupakan dambaan setiap orang. Namun sayangnya, tak semua hubungan berlangsung sesuai yang diinginkan, termasuk bisa terjebak pada toxic relationship.

Menurut laman Sehatq, apabila hubungan yang sedang dijalani, menghambat Anda untuk menjalani hidup secara produktif, sehat dan bahagia, maka hubungan tersebut dapat disebut sebagai toxic relationship (hubungan tidak sehat).

Hubungan tidak sehat pernah dialami oleh Andini (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 26 tahun ini berkenan membagikan kisah yang terjerat toxic relationship selama tujuh tahun dengan mantan pacarnya di Sekolah Menengah Atas (SMA). 

Ia mengisahkan sejak awal hubungan ada beberapa hal yang membuat dia tidak nyaman, misalnya  mantan pacarnya selalu menyembunyikan sesuatu.

"Sampai kemudian yang bikin aku merasa down saat mulai kuliah dan memasuki tahun kelima pacaran. Aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata dia selingkuh selama satu tahun lebih sama mantannya. Aku tahu dari status media sosial perempuan itu dan pas aku tanya baru dia mengaku," ucap Andini kepada Tempo pada 17 Januari 2020.

Tidak hanya selingkuh, mantannya juga kerap melakukan body shaming hingga Andini rela diet habis-habisan sampai jatuh sakit demi mendapatkan pujian."Sampai ke fisik tubuh yang paling personal dia juga shaming ke aku, sampai aku merasa insecure sendiri," kata ia.

Menurut Andini, perilaku maupun ucapan mantannya juga kasar. Meski dengan kondisi itu, Andini bertahan sampai tujuh tahun lamanya.

"Teman-teman terdekat aku menyadari kalau mantanku kasar, tapi kenapa kok aku masih betah pacaran sama dia. Saat itu cuma bisa berpikir namanya pacaran sudah lama, ya, rasanya sayang saja kalau putus. Dia pun beralasan yang sama sudah tujuh tahun pacaran, tapi sia-sia begini," ucapnya.

Lama-kelamaan Andini merasa bimbang karena sang pacar tak kunjung berubah. Ia mempertanyakan ketulusan rasa sayang. Saat itu Andini percaya hanya Tuhan yang bisa membolak-balikan hati manusia dengan mudahnya. "Tidak ada lagi rasa sayang selama tujuh tahun dan sadar mestinya tidak usah balikan lagi kalau menyakiti," lanjutnya.

Kini, Andini sudah berumah tangga dan dianugerahi satu anak. Ia memilih berhenti bekerja untuk mengasuh anaknya yang belum genap berusia satu tahun.

Kisah masa lalu Andini salah satu contoh toxic relationship. Menurut pendiri Gerakan Perempuan Tagar Tegar, Elizabeth Raisa Tanawi, banyak kasus perempuan yang masih dalam terbelenggu toxic relationship, tapi sedikit yang berani bicara dan jujur ingin lepas dari pasangannya.

Pendiri Gerakan Komunitas Perempuan Tagar Tegar, Elizabeth Raisa Tanawi saat ditemui di Jakarta, Sabtu 1 Februari 2020.TEMPO/ Eka Wahyu Pramita

"Ada banyak faktor yang bikin kenapa perempuan maju mundur buat menghindari hubungan tidak sehat. Salah satunya perempuan merasa insecure kalau tidak ada yang memperhatikan dan menyayangi. Ditambah lagi sayang sudah pacaran lama-lama, tapi putus di tengah jalan dan malas membangun komitmen lagi," ujar Raisa saat ditemui di Jakarta, Sabtu 1 Februari 2020.

Tapi, perempuan kelahiran 28 Agustus 1992 ini menegaskan jika sebenarnya perempuan bisa lepas dari jeratan toxic relationship, meski di awal terasa sulit dan tidak tahu harus memulai dari mana.

"Kalau selama ini yang aku lakukan buat mendampingi mereka ialah dengan tahapan berawal dari kemauan dari mereka dulu. Sebab mau bagaimana kita bantu kalau sedari awal mereka masih kekeh menjalani hubungan yang tidak sehat dan merugikan tersebut," ujar lulusan S2 Master of Arts Global Creative and Cultural Industries, SOAS University of London ini.

Langkah selanjutnya baru perlahan-lahan dimulai dengan mencintai sendiri atau self-love. Sebab, menurut Raisa akar persoalan kenapa perempuan masih bertahan dengan toxic relationship ialah perasaan yang kosong serta merasa tidak berarti dan berharga.

"Mereka perlu mengenal yang namanya self-love atau mencintai diri sendiri. Tidak kemudian menjadi egois tapi tahu apa yang menjadi kebutuhan dan kondisi yang membuat mereka nyaman. Dengan terlebih dahulu menerima dan menyayangi diri sendiri," pungkas Raisa.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."