Psikiater: Amphetamine Itu Bukan Obat Bipolar, Tapi untuk ADHD

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
ilustrasi obat (pixabay.com)

ilustrasi obat (pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Pengusaha yang juga influencer Medina Zein sempat menjalani pemeriksaan oleh Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu, hasil tes urine-nya menunjukkan dia positif mengkonsumsi narkoba jenis amphetamine.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, polisi telah melakukan tes urine tehadap Medina Zein. Hasilnya, istri Lukman Azhari itu dinyatakan positif menggunakan amphetamine. "Untuk MZ ini penggunaannya tidak terlalu lama," ujar Yusri di kantor Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Jumat, 3 Januari 2020.

Medina berujar mengkonsumsi obat-obatan untuk pengidap bipolar atas izin dokter. Obatnya itu diduga membuat ia positif narkoba saat melakukan tes urine.

"Itu memang narkoba golongan apa saya tidak paham, nanti boleh datang ke dokter yang bersangkutan yang menangani saya, itu yang membuat positif juga, tetapi itu karena obat saya, obat bipolar," ujar Medina.

Menurut Psikiater Omni Hospital Alam Sutera dr. Andri, Sp.KJ, FACLP, adderall salah satu obat yang mengandung amphetamine digunakan di Amerika Serikat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat untuk pasien Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

"Jadi bukan sebagai obat untuk gangguan bipolar, obat ini cukup sering digunakan di Amerika Serikat sebagai obat untuk Attention Deficit Hyperactivity Disorder juga, bukan cuma untuk anak-anak tapi juga orang dewasa. Obat ini tidak tersedia di Indonesia. Di Indonesia pasien ADHD/ADD menggunakan Ritalin/Concerta/Prohiper yang mengandung methylphenidate," ucap dr. Andri saat dihubungi Tempo.co, Minggu, 5 Januari 2020.

Dr. Andri mengatakan saat praktik, ia banyak menemui pasien yang mencoba mengobati gejala gangguan jiwanya sendiri dengan menyalahgunakan alkohol dan zat terlarang di Indonesia seperti amphetamine yang terkandung dalam sabu. Mereka juga ada yang menggunakan obat dokter seperti benzodiazepine yang dibeli sendiri tanpa melalui konsultasi ke dokter.

"Pasien saya juga ada yang pernah menggunakan ganja untuk mendapatkan ketenangan. Gejala gangguan jiwa memang banyak dialami, tapi tidak serta merta membuat orang mau datang berobat ke dokter jiwa. Stigma dan rasa malu membuat hambatan pengobatan, akhirnya ada yang berani coba-coba jadi dokter sendiri," ucap Staf Pengajar di Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta ini.

Alkohol juga dipilih sebagai salah satu cara untuk mengatasi cemas, membantu tidur lebih mudah hingga membuat rileks. Namun penyalahgunaan alkohol yang berat bisa menimbulkan banyak masalah kesehatan dan kejiwaan.

Sabu, ekstasi, kokain adalah stimulan yang mengandung amphetamine yang mempunyai dampak stimulasi susunan saraf pusat, ada rasa euforia, sangat bersemangat, membuat kemampuan seks bertambah, memacu kerja yang sering dijadikan alasan banyak orang menggunakannya.

"Jangan menggunakan narkotika, alkohol, zat stimulan, dan narkotika lainnya untuk mengatasi gejala gangguan jiwa. Berobatlah ke dokter jiwa jika mengalami gejala gangguan jiwa yang sampai mengganggu kualitas hidup. Semakin cepat tata laksana, semakin baik harapan sembuhnya," imbau dr. Andri.

EKA WAHYU PRAMITA | M. YUSUF MANURUNG

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."