Penelitian: Suami Stres Jika Pendapatannya Lebih Kecil dari Istri

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi pasangan bertengkar. shutterstock.com

Ilustrasi pasangan bertengkar. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Beberapa di antara kita seperti pasangan milenial banyak yang sama-sama bekerja. Masing-masing punya dorongan untuk memiliki prestasi di profesi masing-masing. Tapi tahukah Anda, sebuah penelitian menunjukkan bahwa suami merasa stres ketika istri memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dirinya?

Penelitian yang dilakukan para ahli di University of Bath, Inggris, menunjukkan bahwa suami yang sepenuhnya bergantung pada istri mereka untuk dukungan keuangan merasa sangat tertekan. Para ahli menyimpulkan, temuan itu menunjukkan norma sosial tentang pencari nafkah laki-laki dapat berbahaya bagi kesehatan laki-laki.

“Penelitian juga menunjukkan seberapa kuat dan gigih norma-norma identitas gender,” kata penulis penelitian Dr. Joanna Syrda berbagi dalam siaran pers, seperti dikutip dari laman Times of India.

Penelitian ini melibatkan sekitar 6.000 pasangan menikah di Amerika Serikat selama 15 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika pendapatan istri melebihi 40 persen dari total pendapatan rumah tangga, para lelaki mulai merasa cemas.

Menurut para peneliti, para suami tidak tertekan ketika istri hanya membantu pendapatan, tapi ketika istri mulai mendominasi penghasilan rumah tangga, para suami merasa tidak aman.  

Syrda mengatakan, konsekuensi dari peran yang dianggap terbalik ini antara lain mempengaruhi kesehatan mental, kepuasan hidup, kesetiaan dalam pekawinan, perceraian, dan daya tawar perkawinan.

“Temuan ini memiliki implikasi tentang pengelolaan kesehatan mental pria dan pemahaman masyarakat tentang maskulinitas itu sendiri,” tutur Syrda.

Sementara itu, pakar hubungan dan psikolog Shweta Singh mengatakan bahwa pria dikondisikan sebagai pencari nafkah utama secara struktural. Sejak sekolah dasar buku-buku pelajaran menunjukkan peran ayah sebagai pencari nafkah, sedangkan ibu adalah penjaga.

“Pemahaman maskulinitas masyarakatlah yang harus disalahkan di sini. Kami sering mendengar orang berkata, 'anak laki-laki tidak menangis' atau 'anak perempuan tidak boleh keluar rumah hingga larut malam' dan lainnya. Stereotip gender semacam itu membuat orang sulit menerima apa pun yang berada di luar norma,” tandas ia.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."