Advertisement
Advertisement
Advertisement

6 Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia, Cabut Fasilitas dan Tunjangan DPR

foto-reporter

Reporter

google-image
Aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Advertisement

CANTIKA.COM, Jakarta - Sejak 25 Agustus 2025, gelombang protes rakyat merebak di berbagai daerah. Aksi ini mula-mula dipicu oleh kenaikan tunjangan DPR yang tidak masuk akal di tengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin karut-marut. Frustrasi rakyat atas nasibnya pun memuncak, dipicu oleh kebijakan ekonomi-politik yang bukannya menyejahterakan, melainkan semakin mencekik. 

Namun, kemarahan itu segera melebar ke persoalan lain yang sama mengakarnya: brutalitas aparat. Tragedi menimpa seorang buruh ojek online, Affan Kurniawan, yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi. Peristiwa ini menjadi pemicu meluasnya aksi dan memperdalam kemarahan rakyat terhadap negara.

Pada 31 Agustus 2025, Prabowo Subianto merespons gelombang aksi rakyat yang sejak 25 Agustus menyeruak di berbagai daerah dengan pola manipulasi ciri khas pemerintah. Alih-alih mengakui kegagalan negara, ia justru membelah aspirasi rakyat dengan kategorisasi “murni” dan “tidak murni” menolak merespons serius represifitas aparat, serta sama sekali tidak menyinggung nyawa massa aksi yang melayang karena kekerasan negara. 

Lebih jauh, ia dengan ambigu melabeli protes rakyat sebagai tindakan anarkis, dan menjadikan rakyat yang bersuara seolah ancaman bagi stabilitas negara. Padahal, jika Prabowo sungguh berkomitmen pada demokrasi, seharusnya ia menanggapi tuntutan rakyat. Mengabaikan hal ini hanya menunjukkan lebih jelas lagi wajah militerisme Prabowo.

Sampai dengan tanggal 3 September 2025, tercatat 10 orang tewas dalam aksi demonstrasi di berbagai kota. Kekerasan aparat terjadi dalam insiden di Jakarta dan Yogyakarta, sementara di Makassar pembakaran kantor DPRD juga memakan korban jiwa. Adapun laporan lokal menyebutkan kematian warga di Solo dan Manokwari diduga akibat paparan gas air mata yang digunakan aparat secara brutal. Selain korban jiwa, LBH-YLBHI mencatat setidaknya ada 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit.

Aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Tidak hanya massa aksi yang menjadi target, jurnalis dan pendamping hukum pun turut mengalami penganiayaan oleh aparat seperti yang terjadi di Jakarta, Manado, dan Samarinda. Pada tanggal 1 September 2025 pun, menjelang tengah malam, Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polda Metro Jaya di kantor Lokataru. 

Polisi menjerat Delpedro dengan Pasal 160 KUHP dan UU ITE, undang-undang karet yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis dan membungkam kritik rakyat. Pola ini memperlihatkan bahwa kekerasan negara tidak lagi hanya menyasar suara rakyat, tetapi juga mereka yang menjalankan fungsi demokratis untuk mengawal, melaporkan, dan mengadvokasi.

Penangkapan sewenang-wenang terhadap rakyat seolah-olah menjadi pola yang seolah sah dilakukan, massa aksi ditangkap secara acak, bahkan sebelum aksi dimulai. Polisi melakukan sweeping secara sistematis di berbagai titik, memburu dan menangkap warga yang hendak menyuarakan protes. Tindakan semacam ini tidak hanya menyalahi hukum, tetapi juga mencederai demokrasi secara terang-terangan.

Anehnya, alih-alih melakukan perbaikan total pada institusi tersebut, Presiden Prabowo Subianto justru memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada polisi yang terluka dalam demo beberapa waktu terakhir. Di saat yang sama, praktik impunitas terus dibiarkan subur di tubuh kepolisian, memperlihatkan dengan jelas keberpihakan negara pada aparat represif, bukan pada rakyat yang menjadi korban.

Negara seharusnya menjamin perlindungan terhadap kebebasan sipil dan politik sesuai amanat konstitusi serta standar hak asasi manusia internasional. Namun yang terjadi justru sebaliknya: negara menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara kritis melalui kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap warga negara yang mengekspresikan haknya.

Kontras membuka posko pengaduan untuk merespons banyaknya laporan orang hilang dalam aksi unjuk rasa sejak 25–31 Agustus 2025. Dari posko tersebut, tercatat sedikitnya 23 orang berstatus hilang dan hingga kini belum diketahui keberadaannya. Fakta ini mengindikasi adanya praktik penghilangan paksa oleh negara, sebuah tindakan yang merupakan larangan absolut dalam hukum internasional dan tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apa pun.

Aksi tabur bunga dari Aliansi Perempuan Indonesia di depan kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 3 September 2025. Tempo/Amston Probel

Situasi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi kebebasan akademik dan ruang berpendapat, juga tidak luput dari intimidasi. Di Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, aparat TNI–Polri menembakkan peluru karet dan gas air mata, menjadikan ruang akademik sebagai sasaran represifitas negara.

Hadirnya tentara di ranah sipil, terutama dalam aksi protes dengan seragam lengkap, kendaraan tempur, serta senjata laras panjang, tidak hanya memperparah situasi tetapi juga menebar ketakutan massal. Kehadiran militer di ruang sipil menunjukkan wajah negara yang semakin militeristik, jauh dari prinsip demokrasi
.
Dalam situasi negara yang tidak berpihak pada rakyat, perempuan menanggung kerentanan berlapis. Kekerasan berbasis gender tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dipertajam oleh identitas yang saling bertumpuk: perempuan penyandang disabilitas, perempuan dengan keragaman identitas gender dan orientasi seksual, perempuan dari agama minoritas, perempuan adat dan masyarakat lokal, perempuan miskin kota maupun desa, pekerja migran dan buruh perempuan, hingga penyintas konflik dan bencana. Setiap lapisan identitas itu memperlebar jurang ketidakadilan, sementara negara terus gagal memberikan perlindungan yang layak.

Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia (API)

Unjuk rasa dari Aliansi Perempuan Indonesia di depan kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 3 September 2025. Tempo/Amston Probel

1. Presiden Prabowo untuk menghentikan segala bentuk kekerasan negara, termasuk menarik mundur TNI dan Polri

2. Presiden Prabowo, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Agus Subiyanto untuk segera menarik tentara yang di libatkan bersama kepolisian dalam penanganan keamanan ketertiban masyarakat

3. Kapolri Listyo Sigit untuk segera mundur dari jabatannya, serta menuntut kepolisian untuk mmbebaskan seluruh masyarakat yang ditangkap tanpa syarat.

4. Presiden peabowo untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap rakyat, aktivis, jurnalis, dan pendamping hukum, serta membebaskan seluruh tahanan tanpa syarat.

5. Prabowo untuk mengembalikan militer ke barak dan menghentikan segala bentuk keterlibatan TNI dalam urusan sipil.

6. Terjamin sepenuhnya hak konstitusional warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan protes di muka umum tanpa intimidasi maupun kekerasan.

Pilihan Editor:  Agnez Mo Ungkap Kekecewaan Terkait Kondisi di Indonesia: Kepemimpinan Itu Tentang Empati dan Mendengarkan

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

Advertisement

Recommended Article

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."
Advertisement