Apa Itu Munggahan? Ini Arti dan Sejarahnya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rezki Alvionitasari

google-image
Sejumlah warga makan bersama saat tradisi Munggahan di Situs Cagar Budaya Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis, 16 Maret 2023.  Tradisi munggahan itu bertujuan untuk silaturahmi antarkampung sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadan. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Sejumlah warga makan bersama saat tradisi Munggahan di Situs Cagar Budaya Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis, 16 Maret 2023. Tradisi munggahan itu bertujuan untuk silaturahmi antarkampung sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadan. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Seiring dengan dekatnya waktu bulan Ramadan, masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia termasuk Jawa Barat, melakukan berbagai tradisi yang khas. Salah satu tradisi adalah Munggahan. Apa itu Munggahan?

Munggahan menjadi bagian penting dalam budaya lokal, tidak hanya sebagai sebuah ritual, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan, dan persaudaraan dalam menyambut bulan suci Ramadan.

Agar dapat lebih memahami tradisi ini, penting untuk menelusuri arti, tujuan, dan bentuk kegiatannya. Jadi, mari kita telusuri lebih dalam mengenai tradisi Munggahan berikut ini.

Arti Munggahan

Dalam penelitian yang berjudul "Perkembangan Tradisi Keagamaan Munggahan Kota Bandung Jawa Barat Tahun 1990-2020", dijelaskan bahwa asal-usul kata "Munggahan" berasal dari "Unggah" yang berarti kenaikan atau peningkatan yang konon pada masa lampau, dipercaya roh nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal.

Dari studi lain yang berjudul "Tradisi Punggahan Menjelang Ramadan (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang)", disebutkan bahwa Munggahan sering diartikan sebagai tanda kedatangan bulan Ramadan.

Pengertian kata "Munggah" secara tersirat mengacu pada proses transformasi menuju kebaikan dari bulan Sya'ban ke bulan Ramadan untuk meningkatkan kedalaman spiritual saat menjalani ibadah puasa. 

Selain itu, Munggahan juga dapat dimaknai sebagai perjalanan menuju ke tempat yang lebih tinggi, yang melambangkan pencapaian spiritual yang lebih mulia saat memasuki bulan Ramadan sebagai bulan keberkahan.

Sejarah Munggahan

Munggahan memiliki makna filosofis yang dalam dengan melibatkan hubungan antara dua kelompok masyarakat yang berbeda. 

Kelompok pertama disebut sebagai penduduk "Hinggil" yang merupakan keturunan langsung atau dekat dari nenek moyang, dan umumnya tinggal di wilayah asal. 

Sementara itu, kelompok kedua adalah penduduk "Handap" yang merupakan generasi paling muda atau yang telah berpindah tempat tinggal ke daerah perantauan.

Penduduk "Hinggil" memiliki peran dalam menjaga keaslian budaya nenek moyang, serta dianggap lebih dekat dan mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan roh nenek moyang. 

Di sisi lain, penduduk "Handap" berperan sebagai pengembang ekonomi, sosial, dan politik, namun dianggap tidak memiliki akses langsung dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan roh nenek moyang, sehingga memerlukan mediasi dari penduduk "Hinggil".

Momen penting dalam tradisi ini terjadi selama bulan Sya'ban, yang dipercaya sebagai waktu berkumpulnya roh para leluhur. 

Dalam bahasa Sunda, bulan Sya'ban sering disebut sebagai "Ruwah" yang artinya roh. Pada waktu tersebut, dilakukan doa bersama bagi roh nenek moyang atau anggota keluarga yang telah meninggal.

Tradisi Munggahan dianggap sakral bagi kedua kelompok masyarakat, penduduk "Hinggil" dan "Handap", sebagai momen berkumpul dan menghormati leluhur. 

Saat agama Islam masuk ke suku Sunda, tradisi Munggahan berubah menjadi upacara penyambutan bulan Ramadan. Namun, seiring perkembangan waktu, tradisi ini terus bertransformasi menyesuaikan dengan perubahan kondisi sosial dan budaya.

Tujuan Munggahan

Tradisi Munggahan menjadi sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah dan kesempatan bertemu dengan bulan Ramadan untuk berpuasa dan membersihkan jiwa. 

Hal ini dilakukan dengan harapan agar puasa berjalan lancar dan dapat menjauhkan diri dari perilaku yang buruk.

Selain itu, tujuan lain dari tradisi ini adalah untuk membersihkan diri dari segala dosa yang pernah dilakukan, serta sebagai wadah untuk memupuk toleransi, saling menghormati, dan menjaga keharmonisan dalam hubungan antar sesama. 

Dengan demikian, ketika memasuki bulan puasa, baik secara fisik maupun spiritual, seseorang dapat kembali suci.

Bagi masyarakat Sunda, tradisi Munggahan memiliki makna khusus sebagai sarana penyucian diri. Meskipun tradisi ini bukan bagian dari ajaran agama secara langsung, namun memiliki nilai-nilai positif untuk mempererat silaturahmi, meningkatkan interaksi sosial, dan membuka pintu maaf antar sesama. 

Hal ini sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur'an, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 tentang taubat dan membersihkan diri.

Kegiatan dan Ide Munggahan

Kegiatan Munggahan

Meskipun berasal dari masyarakat Sunda, tradisi Munggahan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan oleh berbagai suku dan etnis. 

Meskipun pelaksanaannya bervariasi di setiap daerah, perbedaan tidak mengurangi esensi dan tujuan dari tradisi ini.

Kegiatan Munggahan sering kali menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Terutama bagi keluarga yang berada di perantauan, Munggahan menjadi kesempatan untuk pulang kampung dan bersilaturahmi kembali dengan keluarga di kampung halaman. 

Kegiatan dari tradisi ini dapat dilakukan dengan makan bersama, yang sering disebut sebagai "Botram", saling bermaafan, berdoa bersama, mengunjungi makam leluhur, berwisata, atau bahkan melakukan kegiatan amal seperti sedekah Munggahan.

Ide Kegiatan Munggahan

Terdapat beberapa ide kegiatan untuk merayakan tradisi Munggahan agar lebih bermakna, antara lain:

  • Menyelenggarakan kegiatan makan bersama anak yatim dhuafa di sekitar lingkungan tempat tinggal. Tujuan dari kegiatan ini untuk meningkatkan semangat anak-anak yatim dan dhuafa dalam menyambut bulan suci Ramadan.
  • Memberikan sedekah atau berbagi sembako kepada kaum dhuafa. Hal ini membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan makan sahur dan berbuka, sehingga dapat mendukung kelancaran ibadah puasa yang akan dijalankan.
  • Melakukan kegiatan renovasi atau membersihkan masjid maupun mushola. Ini bertujuan untuk mendukung suasana ibadah yang khusyuk dan nyaman bagi jamaah selama bulan suci Ramadan.

Dengan melakukan kegiatan tersebut, diharapkan kita dapat merayakan tradisi Munggahan dengan penuh makna dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar. Selamat menyambut bulan Ramadan.

Pilihan Editor: Menu Diet saat Puasa Ramadan agar Berat Badan Terjaga

GHEA CANTIKA NOORSYARIFA | LAILI IRA

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."