Mengenal Papeda, dari Sejarah, Rasa, dan Cara Makannya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Papeda dan ikan kuah kuning khas Papua di Alenia Coffee & Kitchen, Jalan Kemang Raya 66B, Kemang, Jakarta Selatan. Tempo/Francisca Christy Rosana

Papeda dan ikan kuah kuning khas Papua di Alenia Coffee & Kitchen, Jalan Kemang Raya 66B, Kemang, Jakarta Selatan. Tempo/Francisca Christy Rosana

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Di ulasan Food and Travel ini, mari kita mengenal papeda. Kuliner khas Papua, Maluku, dan wilayah timur Indonesia itu, berbahan dasar sagu dengan tekstur meyerupai lem atau bubur lengket berwarna putih.

Pada 2015, papeda dinyatakan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia dengan domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.

Dari segi rasa, papeda terasa tawar. Karena itu, biasanya papeda dimakan bersama dengan ikan tongkol kuah kuning. Papeda juga kerap dimakan dengan dengan sayur ganemo yang berisi daun melinjo muda. Kini makanan ini populer di daerah lain dengan berbagai modifikasi.

Sejarah Papeda

Dilansir dari Indonesia.go.id, papeda terkenal luas dalam masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, juga Manokwari. Makanan ini sering dihidangkan saat acara-acara penting di wilayah Papua, Maluku, dan sekitarnya. 

Menurut sejarah, sagu sangat dihormati oleh masyarakat Papua. Bukan sekadar makanan, tetapi sagu juga dikaitkan dengan kisah penjelmaan manusia. Itu sebabnya, saat memanen sagu yang dilakukan bersama-sama, masyarakat sekitar menggelar upacara khusus sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen. Sagu tersebut dapat memenuhi kebutuhan seluruh keluarga di daerah tersebut.

Papeda dalam Upacara Adat

Hidangan khas Papua ini sering dihadirkan dalam berbagai upacara adat, salah satunya adalah Watani Kame. Upacara ini merupakan tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Makanan ini akan dibagikan kepada orang-orang yang sangat membantu upacara tersebut.

Selain kematian, papeda juga dijadikan sajian penting dalam upacara kelahiran anak pertama di Inanwatan, Sorong Selatan, Papua Barat. Dalam upacara ini, papeda biasanya disajikan bersama dengan daging babi. Masih di Inanwatan, papeda sering dimakan oleh para perempuan sebagai penahan sakit saat membuat tato.

Papeda juga menjadi makanan penting dalam siklus kehidupan Suku Nuaulu di Pulau Seram, Maluku. Papeda, yang di sana sebagai sonar monne, makanan ini jadi hidangan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. Tapi, Suku Nuaulu dan Suku Huaulu melarang wanita yang sedang dalam masa haid untuk memasak papeda karena dianggap tabu.

Cara Makan Papeda

Beda dengan makan bubur biasa, papeda dimakan dengan menggunakan garpu khusus atau sumpit. Garpu atau sumpit tersebut digunakan untuk menggulung-gulung bubur papeda sampai membentuk gumpalan besar, lalu diletakkan di piring.

Setelah itu, papeda siap disantap bersama kuah kuning. Karena teksturnya yang kenyal dan lengket, papeda tidak perlu dikunyah. Cukup diseruput lalu ditelan.

Papeda juga memiliki filosofi yang mendalam. Papeda biasanya disantap satu keluarga, dilengkapi dengan helai dan hote. Helai merupakan alat makan tradisional yang terbuat dari kayu sebagai tempat penyajian papeda. Sementara hote merupakan piring kayu sebagai tempat untuk menyantap papeda. Bagi mereka, acara makan keluarga menandai sebagai ikatan kekeluargaan sebagai ruang diskusi antara orang tua dan anak.

Pilihan Editor: Tertarik Bikin Soto Sulung di Rumah? Berikut Resepnya

MILA NOVITA | INDONESIA.GO.ID | ANTARA

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."