Tips Bangun Karakter Calon Pengusaha Sekaligus Tetap Adaptif dengan Dunia Kerja

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi wanita karier atau bekerja. shutterstock.com

Ilustrasi wanita karier atau bekerja. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Riset dari Yale University, Amerika Serikat, dan dipublikasikan dalam Harvard Business Review, 28 Juni lalu bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” melaporkan, para mantan pengusaha di sektor teknologi 43 persen lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan. Angka itu dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif. Karena, menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Kasus di Indonesia

Meski hasil survey ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia. “Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Cantika pada 7 Agustus 2022.

Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya. “Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru,” lanjut Rudy.

Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University. Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi. Tetapi pengalaman sebagai founders perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan, sehingga perekrut meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan.

Partner di Living Lab Ventures, Bayu Seto, menilai sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. “Mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas. Mereka kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker. Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi,” ujarnya.

Namun ia juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market. “Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala trend pasar berubah seketika.”

Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang “pindah kuadran” menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid. Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta (sebisa mungkin) membentuk budaya non-hirarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.

Terlepas dari hasil survei itu, sejumlah perusahaan masih mengutamakan kompetensi skill calon pekerja, apapun latar belakangnya. Hal ini berlaku di XL Axiata. “Kami menyeleksi kandidat berdasarkan kecocokan skill competency dan kecocokan budaya kerja. Pengembangannya juga berlaku sama bagi semua karyawan yang sudah bergabung di XL Axiata,” ujar Group Head People Services XL Axiata, Mochamad Hira Kurnia.

Hira yang berpengalaman merekrut sejumlah mantan pendiri startup, menyatakan memang ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan dari kelompok tersebut. “Terutama dalam hal kemampuan menganalisis inovasi versus risiko dan kemampuan managing people, dan kecepatan proses beradaptasi dengan lingkungan enterprise yang fokus terhadap balance sheet,” ujarnya. 

Di sisi lain, kelompok ini juga memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan perusahaan perekrut. “Misalnya kemampuan networking mereka serta kemampuan dalam mengelola segmen bisnis dalam skala tertentu,” kata Hira.

Peran Dunia Pendidikan dalam Pembentukan Karakter

Dengan berbagai pandangan itu, bagaimana kemudian solusi untuk mebangun karakter calon wirausahawan yang kuat, namun juga tetap adaptif dengan dunia kerja? Menurut Rudy Handoko, hal itu, salah satunya, ditentukan oleh proses yang mereka lalui saat menempuh pendidikan, terutama di tingkat kampus. “Dunia pendidikan dapat menciptakan karakter pebisnis yang kuat. Di kampus, misalnya, kami menekankan proses dalam membentuk pebisnis atau professional sukses. Tidak ada yang instan karena semua hasil butuh ketekunan,” ujar Rudy.

Ia mencontohkan bagaimana para mahasiswa di Universitas Prasetiya Mulya, sejak semester awal telah mendapatkan eksposur terhadap berbagai macam kompetisi, tekanan yang melatih kesabaran dan konsistensi dalam mencapai tujuan. Mereka bertukar peran dalam kelompok, sekali waktu menjadi ketua, sekali waktu menjadi anggota. “Anggota kelompok sengaja ditukar secara rutin, agar sesama mereka bisa bekerja sama dengan baik, meski mereka memiliki latar belakang berbeda,” kata Rudy.

Banyaknya kompetisi yang diikuti pun melatih karakter mereka sebagai sosok yang terbiasa menang maupun kalah, dan tak mudah menyerah meski harus merangkak lagi dari bawah. “Hal semacam ini penting untuk pembentukan karakter calon pebisnis, maupun karyawan,” kata Rudy.

Pengenalan terhadap berbagai iklim dunia kerja juga terjadi pada para mahasiswa. Mahasiswa Prasetya Mulya, kata Rudy, juga diterjunkan ke dunia nyata, bahkan sejak selepas semester pertama untuk memahami apa yang terjadi di luar sana. “Mereka sengaja dihadapkan pada situasi jatuh-bangun dan berbagai kesulitan, agar mereka bisa memahami kehidupan secara nyata. Sehingga siap jika suatu ketika usaha mereka gagal, dan membuat pilihan dengan beralih masuk ke bursa kerja, misalnya,” kata Rudy.

Baca: Tips Penting untuk Pengusaha, Cara Agar Produk Lokal Dilirik Brand Internasional

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."